Sekretaris Nasional Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), Dika Moehammad.
Sekretaris Nasional Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), Dika Moehammad.

Gubernur DKI Pramono Anung Wacanakan Program ‘Kartu Janda’, Buat Apa?

Sekretaris Nasional Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), Dika Moehammad, mempertanyakan Program ‘Kartu Janda’, yang bakal di-launching oleh Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo.

“Buat apa? Sebagai terobosan afirmatif atau solusi parsial?” tanya Dika Moehammad, dalam keterangannya, yang diterima redaksi, Rabu (23/7/2025).

Dika Moehammad menuturkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah menggulirkan wacana Kartu Janda Jakarta, sebuah bentuk bantuan sosial yang ditujukan bagi perempuan kepala keluarga, terutama mereka yang berstatus janda karena perceraian atau ditinggal wafat oleh pasangan. 

Di tengah kompleksitas persoalan sosial perkotaan, kebijakan ini muncul sebagai bentuk pengakuan atas beban ganda yang dihadapi perempuan dalam rumah tangga miskin.

“Namun, apresiasi atas niat baik ini perlu diiringi dengan evaluasi kritis: Apakah program ini merupakan solusi struktural atau sekadar respons politis yang bersifat simbolik dan parsial?” ujar Dika.

Berbagai temuan lapangan menunjukkan bahwa problem utama dalam perlindungan sosial bukan hanya pada “siapa yang dibantu”, tetapi “bagaimana sistem itu dibangun”

Hingga kini, sistem bansos di Jakarta masih dibayangi oleh kelemahan mendasar, antara lain:

Data Tidak Akurat dan Tidak Responsif. Banyak keluarga miskin layak bantuan tidak terdaftar dalam DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial), sementara keluarga yang tidak layak justru tercatat sebagai penerima.

Penyusunan Tidak Transparan. Proses musyawarah kelurahan dan verifikasi faktual hanya melibatkan elite RW/Kelurahan, tanpa mekanisme partisipatif dan akses warga terhadap hasilnya.

Prosedur Sulit Diakses Warga Rentan. Warga miskin yang berpindah-pindah atau tidak memiliki dokumen kependudukan seringkali tidak bisa mendaftar, padahal merekalah yang paling membutuhkan.

Minim Informasi dan Tidak Ada Mekanisme Keberatan. Pendaftar tidak mengetahui kuota bantuan, alasan penolakan, atau jalur untuk menyampaikan keberatan. Sistem ini tertutup dan tidak akuntabel.

Menurut Dika, jika Kartu Janda Jakarta dibangun di atas fondasi sistemik yang rapuh ini, maka potensi salah sasaran, tumpang tindih, atau eksklusi tidak akan terhindarkan.

“Memberikan perhatian khusus kepada perempuan kepala keluarga memang penting. Data BPS dan studi-studi kesejahteraan menunjukkan bahwa rumah tangga dengan kepala keluarga perempuan memiliki tingkat kerentanan ekonomi lebih tinggi dibandingkan rumah tangga lainnya,” tuturnya.

Namun, lanjutnya, pendekatan bantuan berbasis status seperti “janda” memiliki sejumlah kelemahan serius.

Pertama, Risiko Stigmatisasi dan Penyempitan Sasaran. Menggunakan status sosial (seperti janda) sebagai kriteria utama berisiko menciptakan diskriminasi terhadap kelompok rentan lain yang tidak masuk kategori itu.

Perempuan yang masih memiliki pasangan tapi hidup dalam kemiskinan ekstrem, korban KDRT, atau ibu rumah tangga dengan suami pengangguran, bisa terabaikan.

Ini mengabaikan prinsip keadilan berbasis kebutuhan (needs-based approach), dan menggantinya dengan pendekatan berbasis label administratif.

Kedua, Solusi Parsial dan Tidak Memberdayakan. Bantuan tunai, meskipun penting, bukanlah jawaban atas persoalan struktural kemiskinan perempuan.

Tanpa program pendukung seperti pelatihan kerja, akses modal, dan dukungan psikososial, bantuan ini hanya bersifat karitatif dan tidak berkelanjutan.

Ketiga, Bergantung pada Basis Data Lemah. Selama pendataan masih bergantung pada DTKS yang tertutup dan tidak partisipatif, kebijakan ini akan rentan terhadap manipulasi, politisasi, atau eksklusi.

Tanpa pembaruan sistemik pada pendataan dan mekanisme validasi, program ini tidak akan menjangkau yang benar-benar membutuhkan.

Alih-alih menambah daftar kartu berbasis status sosial, Pemprov DKI Jakarta sebaiknya berfokus pada perbaikan sistem perlindungan sosial yang universal, transparan, dan partisipatif, dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

Satu, Cakupan Luas dan Inklusif. Semua rumah tangga miskin dan rentan, terlepas dari status pernikahan atau jenis kelamin kepala keluarga, harus menjadi sasaran bantuan. Pendekatan ini menghindari eksklusi sosial dan menciptakan rasa keadilan yang lebih luas.

Dua, Penguatan Bantuan Reguler dan Layak. Usulan bantuan tunai Rp 500.000 per bulan secara universal bagi rumah tangga miskin akan lebih menjamin efektivitas dan pemerataan dibandingkan bantuan yang dikotakkan berdasarkan kategori.

Tiga, Pendaftaran Proaktif dan Terintegrasi. Pemerintah harus aktif menjangkau warga melalui sistem pendaftaran keliling, integrasi dengan layanan adminduk, dan pelibatan RT/RW secara adil dan transparan. Dokumen kependudukan harus difasilitasi, bukan menjadi penghalang.

Empat, Sistem yang Terbuka, Mudah Diakses, dan Responsif. Semua kriteria, hasil seleksi, dan mekanisme pengaduan harus dipublikasikan secara luas. 

Sistem digital yang ramah warga dan kanal pengaduan yang responsif wajib tersedia agar warga tidak hanya menjadi objek, tetapi juga aktor dalam perlindungan sosial.

Lima, Pendekatan Pemberdayaan Jangka Panjang. Bantuan tunai harus diiringi program pendukung, seperti pelatihan keterampilan, penguatan ekonomi lokal, dan intervensi untuk perempuan penyintas kekerasan domestik. 

Program perlindungan tidak boleh berhenti pada transfer uang, tetapi harus membangun ketahanan ekonomi keluarga.

Kebijakan Kartu Janda Jakarta mencerminkan upaya afirmatif terhadap perempuan rentan. Namun, bila tidak dikembangkan dalam kerangka kebijakan sosial yang utuh, itu justru berisiko mempersempit cakupan bantuan dan menambah fragmentasi program.

“Simbolisme kebijakan harus digantikan dengan keberanian politik untuk melakukan reformasi struktural,” ujar Dika.

“Perempuan kepala keluarga, janda, dan semua warga miskin di Jakarta tidak membutuhkan belas kasih jangka pendek. Mereka membutuhkan sistem yang melihat mereka, mendengar mereka, dan bekerja untuk mereka,” lanjutnya.

“Bukan karena mereka janda, tetapi karena mereka warga negara yang punya hak yang sama untuk hidup layak dan sejahtera,” ucap Dika.

Dia melanjutkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki kapasitas fiskal dan infrastruktur kebijakan yang cukup untuk melakukan reformasi ini.

“Yang dibutuhkan hanyalah kemauan politik, keberanian berpihak kepada yang lemah, dan kemauan untuk keluar dari jebakan solusi tambal-sulam yang populis namun tidak menyentuh akar persoalan,” tandasnya.(*)

Check Also

Timbulkan Kerugian Negara Hingga Rp 1,08 Triliun, Presiden Direktur PT Sritex Group Indonesia Iwan Kurniawan Lukminto Dijebloskan ke Sel Tahanan Kejaksaan Agung.

Timbulkan Kerugian Negara Hingga Rp 1,08 Triliun, Presiden Direktur PT Sritex Group Indonesia Iwan Kurniawan Lukminto Dijebloskan ke Sel Tahanan Kejaksaan Agung

Setelah ditetapkan sebagai Tersangka dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit PT Bank Pembangunan Daerah …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *