Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Jakarta melalui Ketua Bidang Aksi dan Pelayanan, Hardius Karo-Karo, menyampaikan bahwa diskusi yang berlangsung pada Kamis, 17 Juli 2025, antara GMKI Jakarta dan Kementerian Agama (Kemenag) melalui Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) belum menghasilkan titik temu substantif atas aspirasi yang disampaikan.
Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Cabang Jakarta (GMKI Jakarta) meminta dengan tegas agar Kementerian Agama (Kemenag) juga turun tangan secara nyata dan aktif untuk menindak tegas para pelaku intoleransi berbau agama.
“Diskusi ini merupakan langkah awal yang penting, namun hingga kini belum ada kesepahaman yang utuh terkait substansi tuntutan kami. Oleh karena itu, GMKI Cabang Jakarta berencana untuk mengundang pihak Kemenag dan PKUB ke dalam forum dialog lanjutan bersama civitas GMKI Jakarta, agar persoalan intoleransi dan kebijakan diskriminatif dapat dibahas secara lebih terbuka dan partisipatif,” tutur Hardius Karo Karo.
GMKI Jakarta juga ingin meluruskan pemberitaan yang beredar seputar pembahasan SKB Menteri 2008 tentang Ahmadiyah. Sebab, dalam pertemuan itu, seolah-olah yang dipercapkan hanya urusan ijin pendirian rumah ibadah dan Surat Keputusan Bersama 2 Menteri atau SKB 2 Menteri, padahal tidak.
“Kami menegaskan bahwa tidak pernah ada pembahasan mengenai SKB tersebut dalam kajian maupun press release resmi GMKI,” ujar Hardius Karo Karo.
Terkait pernyataan dari pihak Kemenag bahwa Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) bukan lembaga penegak hukum, GMKI Jakarta menyatakan sepakat.
Namun, perlu ditegaskan bahwa kajian GMKI disusun secara utuh dan juga ditujukan kepada Mabes Polri, mengingat aksi demonstrasi GMKI Jakarta pada 17 Juli 2025 dilakukan di dua titik aksi, yakni di Kementerian Agama dan di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri).
Hardius Karo Karo menyampaikan, setiap Kementerian termasuk Kementerian Agama memiliki kewenangan untuk melakukan penertiban atau penindakan berdasarkan tugas dan tanggung jawab masing-masing.
“Bukan hanya Kepolisian yang bisa menindak, Kementerian juga bisa. Ada tugas dan kewenangan mereka dalam bidang mereka masing-masing. Dan itu yang harus ditindak,” lanjutnya.
Jangankan Kepolisian dan Kementerian, Aparat Penegak Hukum lainnya seperti Kejaksaan juga bisa turun tangan melakukan penindakan berbau isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).
Seperti yang pernah dilakukan lewat Bakorpakem. Bakorpakem adalah singkatan dari Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. Ini adalah lembaga yang dibentuk oleh kejaksaan untuk mengawasi dan menangani aliran kepercayaan yang dianggap menyimpang atau membahayakan masyarakat. Bakorpakem memiliki peran penting dalam menjaga kerukunan dan ketertiban sosial terkait isu-isu aliran kepercayaan di Indonesia.
Lebih lanjut, Hardius Karo Karo menyampaikan, GMKI Jakarta menegaskan bahwa isu yang diangkat tidak hanya terbatas pada rumah ibadah umat Kristen saja, tetapi juga mencakup rumah ibadah Katolik, Buddha, Hindu, bahkan Islam, yang turut mengalami kendala pendirian atau pembatasan di sejumlah daerah.
“Fakta-fakta ini dapat ditelusuri melalui pemberitaan berbagai media nasional dan lokal yang telah mengangkat kasus-kasus serupa,” lanjutnya.
GMKI Jakarta menilai bahwa negara, baik melalui Kementerian Agama maupun aparat penegak hukum, harus bersinergi secara aktif dalam merespons kasus-kasus intoleransi, seperti yang terjadi di Cidahu, Sukabumi, yang melibatkan pembubaran kegiatan ibadah dan tindakan kekerasan terhadap umat Kristen.
GMKI Cabang Jakarta tetap konsisten menyuarakan kebebasan beragama, kesetaraan hak, serta mendesak negara agar hadir secara adil dan bertanggung jawab dalam menjamin perlindungan kelompok minoritas di seluruh wilayah Indonesia.
“Jika dalam dialog lanjutan nanti tetap tidak tercapai kesepahaman yang konkret, GMKI Jakarta menyatakan siap untuk melanjutkan perjuangan melalui aksi demonstrasi berjilid-jilid di berbagai titik strategis,” tandasnya.(*)