Tim Advokasi untuk Demokrasi Sektor Keadilan Pajak (TAUD-SKP) bersidang di Mahkamah Konstitusi (MK).
Tim Advokasi untuk Demokrasi Sektor Keadilan Pajak (TAUD-SKP) bersidang di Mahkamah Konstitusi (MK).

MK Tolak Permohonan Masyarakat Sipil, Warning Keras: Pajak Bisa Naik Sampai 15 Persen!

Sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) pada 14 Agustus 2025 secara kompak memutuskan untuk “Menolak Permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya,” Permohonan Uji Materiil Pasal 4A Ayat (2) Huruf b, Pasal 4A Ayat (3) Huruf a, g, dan j, serta Pasal 7 Ayat (1), (3), dan (4), mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada Nomor Perkara:11/PUU-XXIII/2025, yang dimohonkan oleh Para Pemohon dari berbagai kalangan yakni Penyandang Disabilitas, Perempuan Pengemudi Ojek Online, Mahasiswa, Perempuan Nelayan, hingga Pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Terhadap Putusan itu, Tim Advokasi untuk Demokrasi Sektor Keadilan Pajak (TAUD-SKP) menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut mengabaikan prinsip pajak yang berkeadilan sehingga bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi, serta Amanat UUD 1945.

“Yang mana Amanat UUD 1945 menekankan pentingnya sistem pajak yang berkeadilan. Kebijakan PPN di Indonesia padahal terkenal akan sifatnya yang dikenakan ke semua level dan regresif, karena kurang memperhatikan kemampuan bayar di setiap desil pendapatan,” ujar Juru Bicara Tim Advokasi untuk Demokrasi Sektor Keadilan Pajak (TAUD-SKP), Afif Abdul Qoyim dalam pernyataan persnya yang diterima redaksi, Sabtu (16/8/2025).

Lebih lanjut atas Putusan MK tersebut, Tim Advokasi untuk Demokrasi Sektor Keadilan Pajak (TAUD-SKP), berpandangan sebagai berikut:

Pertama, Putusan MK pada Perkara: 11/PUU-XXIII/2025 justru semakin melegitimasi kebijakan PPN yang tidak berkeadilan, khususnya bagi masyarakat yang termasuk kelompok ekonomi lemah.

Menurut data dari PricewaterhouseCoopers (PwC), Indonesia sendiri termasuk salah satu negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN. 

Masyarakat miskin, melalui pasal-pasal tentang PPN yang ada dalam UU HPP, dipaksa untuk membayar PPN dengan persentase yang lebih tinggi, apabila dibandingkan dengan kelompok orang super kaya atau Crazy Rich yang asetnya miliaran, bahkan triliunan. 

“Sebuah fakta ironis, yang mengakibatkan semakin parahnya ketimpangan ekonomi, apabila kebijakan PPN yang ada tidak kunjung diperbaiki,” lanjut Afif Abdul Qoyim.

Para Pemohon melalui Uji Materiil UU HPP yang diajukan, sebenarnya menaruh harapan kepada Majelis Hakim MK untuk mengabulkan permohonan yang diajukan, sayangnya putusan yang dikeluarkan justru semakin membenarkan kebijakan Presiden dan DPR atas PPN yang secara nyata bertentangan dengan jaminan hak atas ekonomi dan sosial.

Kedua, Hakim MK yang seharusnya menjaga demokrasi dan mengawal Konstitusi malah terjerumus dalam argumentasi dangkal dan kering yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan Konstitusi itu sendiri. 

Pasal 23A UUD 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa harus diatur dengan undang-undang akan tetapi melalui putusan ini dilegitimasi pendelegasian pengaturan tarif PPN kepada peraturan pemerintah, sebuah peraturan setingkat lebih rendah dari undang-undang. 

Ironisnya, dalam pertimbangan hukumnya hakim MK mengakui bahwa pembahasan tarif PPN seharusnya dilakukan bersama DPR dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi nasional dan fiskal negara tapi tidak bernyali memutuskan bahwa pengaturan tarif PPN melalui peraturan pemerintah membuka diskresi subjektif Presiden yang secara langsung melanggar prinsip no tax without representation dan mengikis peran legislatif dalam pengawasan pajak.

Ketiga, melalui putusan ini, Hakim MKRI secara efektif membuka peluang penerapan tarif PPN sampai 15 persen tanpa dianggap telah melanggar Konstitusi. 

“Tarif setinggi ini berpotensi melumpuhkan perekonomian nasional dengan memperburuk situasi PHK, menekan daya beli masyarakat, dan meningkatkan beban konsumsi rumah tangga miskin,” lanjut Afif.

Saksi-saksi yang dihadirkan dalam persidangan memberikan contoh konkret realita yang saat ini terjadi, seperti harga beras yang melonjak tinggi dari 10.000 per liter menjadi 13.500 per liter (naik 35 persen) atau minyak goreng dari 14.000 per liter menjadi 20.000 per liter (naik 42,86 persen).

“Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok ini tidak hanya menekan kemampuan konsumsi masyarakat, tetapi juga sudah mengurangi perputaran ekonomi,” katanya melanjutkan.

Alih-alih berpegang teguh pada amanat konstitusi, hakim MKRI justru melegitimasi kebijakan yang beresiko mempersempit basis pajak akibat turunnya konsumsi. 

“Dampaknya, pendapatan negara menurun, ruang fiskal menyempit, dan pelayanan publik semakin sulit dimaksimalkan, konsekuensi yang bertolak belakang dengan cita-cita kesejahteraan sebagaimana yang dijamin Konstitusi,” jelasnya.

Keempat, Hakim MK tampak tidak bernyali memutuskan tarif PPN bertentangan dengan jaminan standar hidup layak, peningkatan derajat kesehatan, pendidikan dan akses terhadap kebutuhan pokok sebagaimana diamanatkan Konstitusi.

Dalam pertimbangan hukumnya, hakim MKRI mengakui adanya fasilitas “PPN tidak dikenakan” dan “PPN dibebaskan” yang ditujukan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP). 

Namun, bagi pelaku usaha kecil yang tidak berstatus PKP, meski beban administratif tidak ada, kenyataannya harga kebutuhan pokok, layanan kesehatan, pendidikan, dan transportasi tetap mengalami kenaikan signifikan di lapangan.

“Sikap MK yang mengabaikan fakta ini menunjukkan ketidakpekaan terhadap realitas sosial-ekonomi masyarakat dan menegaskan jarak antara putusan hukum dan kehidupan sehari-hari rakyat,” lanjut Afif Abdul Qoyim.

Kelima, Hakim MK dalam beberapa pertimbangan hukumnya mengakui bahwa penetapan tarif PPN dibahas bersama DPR dan bahwa kebutuhan pokok publik termasuk layanan kesehatan, pendidikan, transportasi harus mendapat pembebasan PPN.

Namun seluruh majelis menghindar untuk membatalkan rumusan pasal-pasal tentang PPN dalam UU HPP yang jelas-jelas akan membuka ruang pelanggaran prinsip tersebut.

“Sikap hakim MK ini tidak hanya kontradiktif, tetapi juga mencerminkan arogansi, mengabaikan beban ganda yang ditanggung perempuan serta bias ablestik yang menihilkan kebutuhan dan hambatan penyandang disabilitas,” tuturnya.

“Hakim MK telah merobek prinsip keadilan pajak yang merupakan pondasi negara hukum dan amanat konstitusi yang seharusnya mereka jaga,” imbuh Afif Abdul Qoyim.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, Tim Advokasi untuk Demokrasi Sektor Keadilan Pajak (TAUD-SKP) mengambil sikap bahwa perjuangan Koalisi Masyarakat Sipil tidak berhenti hanya dengan adanya Putusan MK tersebut.

“Selama kebijakan perpajakan yang menindas rakyat banyak masih ada di Indonesia, maka Kami akan menempuh seluruh langkah yang bisa diambil demi terwujudnya sistem pajak yang berkeadilan untuk semua, bukan hanya menguntungkan segelintir golongan belaka,” tandas Afif.(*)

Narahubung :

1. Afif Abdul Qoyim ( +62 813-2004-9060)

2. Jaya Darmawan (+62 812-2304-0651)

3. Fadil Al Kafi (+62 819-9369-8984)

4. Nena Hutahean (+62 878-3107-7306)

Check Also

Foto: Ali Husein bersama kawan-kawannya Korban Peristiwa 27 Juli 1996 (Peristiwa Kudatuli) yang tergabung di Forum Komunikasi Kerukunan Korban Kerusuhan Peristiwa 27 Juli 1996 (FKK-124), saat kumpul di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat.(Dok)

Tidak Loyal Kepada Partai, Korban Kudatuli Minta Ketua Umum dan Sekjen PDIP Anulir Pencalonan Indra Kusuma di Brebes

Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekjen Hasto Kristiyanto disarankan segera melakukan evaluasi dengan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *