PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang dahulu bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU) kembali melakukan tindakan kekerasan dengan menggusur Masyarakat Adat Natinggir di Tano Batak, Sumatera Utara.
Perusahaan pengelolaan pulp milik taipan keturunan China bernama Sukanto Tanoto itu telah berulang kali menggusur komunitas-komunitas Masyarakat Adat Tano Batak di Kawasan Danau Toba (KDT) dengan alasan untuk melancarkan bisnisnya guna Hutan Tanaman Industri Eukaliptus.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) mengecam keras penggusuran yang dilakukan PT Toba Pulp Lestari (TPL) terhadap Masyarakat Adat Natinggir di Desa Desa Simare, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatera Utara.
“Selain tindak kriminalitas terhadap Masyarakat Adat yang mempertahankan tanahnya, penggusuran oleh PT TPL disertai berbagai tindakan kekerasan yang semakin kejam dan tak terkendali,” tutur Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Roki Pasaribu, dalam siaran persnya yang diterima redaksi, Sabtu (9/8/2025).
Roki mengungkapkan, pada Jumat (7/8/2025), sejak pukul 08.00 WIB, ratusan karyawan dan petugas keamanan PT Toba Pulp Lestari (TPL) kembali menggusur Masyarakat Adat dari wilayahnya.
“Kali ini, pihak TPL berupaya menanami eukaliptus lahan pertanian Masyarakat Adat Natinggir. Masyarakat Adat Natingir yang berupaya menghentikan aksi tersebut mendapat berbagai tindakan kekerasan, hingga satu orang mengalami luka di bagian leher,” ungkap Roki Pasaribu.
Tidak berhenti di sana, pihak TPL melakukan pengrusakan pemukiman Masyarakat Adat Natinggir dan kekerasan pada anak-anak serta Pejuang Agraria yang mendampingi Masyarakat Adat Natinggir.
“PT TPL melempari rumah-rumah masyarakat dengan batu, padahal anak-anak Masyarakat Adat sedang berada di rumah tersebut. Empat orang staf KSPPM yang sedang mendampingi di Natinggir turut menjadi sasaran TPL dalam penggusuran ini,” bebernya.
Penggusuran ini menambah catatan kejahatan PT TPL kepada konstitusi agraria, serta memperparah krisis agraria yang ada di Sumatera Utara.
Operasi PT TPL adalah satu perusahaan yang lebih dari 4 dekade memonopoli tanah seluas 291.263 hektar di Sumatera Utara, atas nama ‘Hutan Tanaman Industri’ merampas Wilayah Adat milik 23 komunitas Masyarakat Adat di 12 kabupaten, dengan total luasan 33.422,37 hektar.
Penggusuran ini telah mengorbankan 470 Masyarakat Adat yang mempertahankan tanah adatnya: 2 orang meninggal, 208 orang dianiaya, dan 260 orang dikriminalisasi. Belum tindakan perbudakan modern yang dilakukan PT TPL kepada para pekerjanya.
“Tindakan PT TPL ini dilaksanakan dengan melanggar konstitusi, sebab operasinya ilegal atau tidak dibenarkan secara hukum,” ujar Roki.
Area konsesi di dalam kawasan Hutan Lindung (HL) seluas 11.582,22 hektar, di dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) 122.368,91 hektar, di dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) 12.017,43 hektar, di dalam Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) 1,9 hektar, dan di dalam Areal Penggunaan Lain (APL) 21.917,59 hektar.
Dari 188.055 hektar konsesi TPL, setidaknya 28 persen (52.668,66 hektar) adalah ilegal karena berada di atas HL, HPK, dan APL.
“Ironisnya lagi, hingga hari ini klaim Kawasan Hutan di Sumatera Utara hanya sebatas ‘penunjukan’, bukan ‘penetapan’. Di mana, Negara seharusnya melakukan penataan ulang tata batas dan mendapatkan persetujuan dari Masyarakat Adat yang lebih dulu beraktivitas di sana,” ujarnya.
“Karenanya, konsesi PT TPL penuh dengan kecacatan hukum, melalui proses maladministrasi kehutanan, manipulasi proses, hingga abuse of power,” lanjut Roki.
“Dengan demikian keberadaan TPL dan operasinya adalah praktik ilegal yang dilakukan oleh badan usaha swasta dan difasilitasi oleh Pemerintah Indonesia,” tegas Roki Pasaribu.
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengungkapkan, di sisi lain, Sumatera Utara merupakan salah satu episentrum konflik agraria di Indonesia akibat klaim HGU dan HTI oleh perusahaan-perusahaan besar, baik swasta maupun milik negara.
Kurun waktu 1 dekade terakhir, Provinsi Sumatera Utara menempati posisi pertama sebagai provinsi dengan konflik agraria tertinggi, setidaknya 275 letusan konflik agraria, di seluas 655.285,69 hektar, yang berdampak pada 227.239 rumah tangga (Catahu KPA 2015/2024).
Karena itu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) mendesak agar:
Pertama, PT Toba Pulp Lestari segera menghentikan operasi ilegalnya; menghentikan penggusuran Masyarakat Adat Natinggir, serta berbagai tindak kekerasan yang mengancam keselamatan hidup Masyarakat Adat, termasuk bagi perempuan dan anak-anak.
Kedua, Kapolres Resort Toba segera mengusut tuntas dan menindak tegas tindakan kejahatan dan pelanggaran hukum yang dilakukan PT TPL.
Ketiga, Kementerian Kehutanan segera mengevaluasi dan mencabut HTI PT TPL.
Keempat, Kementerian Kehutanan dan Kementerian ATR/BPN segera melepaskan klaim ‘hutan negara’ dari tanah dan wilayah adat masyarakat sebagai upaya penghormatan, pengakuan, pemulihan dan pemenuhan negara terhadap hak atas tanah dan wilayah Masyarakat Adat Se-Tano Batak.
Kelima, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto segera melaksanakan Reforma Agraria; menyelesaikan konflik agraria; menata ulang monopoli penguasaan tanah akibat klaim sepihak kawasan hutan negara yang mencaplok tanah-tanah dan wilayah masyarakat adat.(*)
Narahubung:
Dewi Kartika (Sekjen KPA) – 0813-9447-5484)
Roki Pasaribu (Direktur KSPPM) – (0852-5262-4955)