Dalam satu berita di tanggal 6 Agustus 2025, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia (Kemenperin RI), telah merilis data bahwa serapan tenaga kerja dalam semester 1 2025 adalah 303 ribu orang yang juga dinyatakan jumlahnya lebih besar dari angka PHK yang terjadi pada semester yang sama.
Presiden Partai Buruh yang juga Presiden KSPI, Said Iqbal, data ini patut diduga hanya untuk ‘Asal Bapak Senang’ dan bersifat politis.
Hal itu seolah-olah kondisi dunia ketenagakerjaan baik-baik saja di tengah hantaman gelombang PHK besar-besaran di sektor riil dalam kurun waktu Januari-Juni 2025, terutama PHK di sektor industri tekstil, garmen, elektronik, komponen elektronik, retail, perdagangan mal, hotel, dan sektor padat karya lainnya (labour intensif).
Ada beberapa alasan mengapa buruh menyatakan data Kemenperin RI tentang serapan tenaga kerja 303 ribu orang ini diduga ‘Asal Bapak Senang’ dan bersifat politis.
Pertama, Kemenperin RI tidak menyajikan data dalam bentuk tabel jenis industri, nama perusahaan, jumlah serapan tenaga kerja, sektor formal atau informal, dan di daerah mana saja terjadi serapan tenaga kerja.
Kedua, dana Kemenperin RI dalam semester pertama (Januari-Juni 2025) bertolak belakang dengan data yang disajikan oleh BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) yang dalam kurun waktu yang sama menyatakan bahwa jumlah peserta BP Jamsostek menurun akibat banyaknya buruh ter-PHK yang mengambil JHT dan menerima JKP.
“Bila mengikuti alur berpikir Kemenperin, seharusnya peserta BPJS TK jumlahnya bertambah sebanyak 303 ribu orang. Karena setiap orang yang bekerja di sektor formal ketika masuk bekerja maka pada saat itu langsung didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek). Tetapi kenapa BP Jamsostek menyebut jumlah peserta di kurun waktu Januari-Juni 2025 menurun angkanya. Sungguh ini data yang aneh,” ujar Said Iqbal, dalam siaran persnya yang diterima redaksi, Sabtu (9/8/2025).
Ketiga, jangan-jangan Kemenperin RI mencampur adukkan dalam penyajian data serapan tenaga kerja 303 ribu orang tersebut menggabungkan pekerjaan informal sebagai orang yang bekerja sebagai tenaga kerja yang diserap.
Misal orang yang diserap bekerja sebagai Gojek, Grab, Sofie, atau platform lain, bekerja di dapur MBG, pekerja paruh waktu, dan sektor informal lainnya.
Jelas bila ini dilakukan, makan data Kemenperin adalah absurd dan politis karena pekerja informal tersebut serapan tenaga kerja informal tersebut tidak ada perlindungan sosial dan di bawah upah minimum. Inilah patut diduga data 303 ribu orang ini ‘Asal Bapak Senang’ dan politis.
Keempat, apakah Kemenperin ketika menyajikan data serapan tenaga kerja sebesar 303 ribu orang tersebut menggunakan definisi BPS, yang mendefinisikan orang yang bekerja adalah orang yang bekerja 1 jam selama satu Minggu. Bila definisi ini yang dipakai, maka data Kemenperin itu bias.
Kelima, fakta di lapangan melalui media televisi atau media sosial sangat jelas terlihat, pelaksanaan ‘Job Fair’ di seluruh Indonesia seringkali terjadi kericuhan dan membludak orang yang mencari kerja melalui ‘Job Fair’ tersebut, diperkirakan serapan tenaga kerja melalui ‘Job Fair’ tersebut kurang dari lima persen dari total pencari kerja.
Misal ‘Job Fair’ di Bekasi dan Cianjur, menjelaskan fenomena susahnya orang mencari kerja dan tidak ada serapan tenaga kerja yang sesuai dengan data yang disajikan oleh Kemenperin.
Keenam, memang ada industri sepatu dari investor luar negeri (Taiwan, Korea, dan China), yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar.
Bahkan satu perusahaan bisa menyerap ribuan buruh tetapi mereka melakukan secara bertahap dalam beberapa tahun untuk menyerap tenaga kerjanya.
Bukan langsung satu semester terjadi penyerapan tenaga kerja besar-besaran karena industri sepatu tersebut perlu membangun pabrik yang baru dan investasi mesin mesin yang baru secara bertahap dalam tiga sampai lima tahun ke depan.
Oleh karena itu, buruh menuntut pemerintah untuk menyajikan data tentang lapangan kerja dan secara terbuka (transparan), terukur (accountable), dan tidak bias yang membuat seolah-olah negeri ini lapangan kerja terbuka luas dengan mudahnya. Padahal kondisi di lapangan berbeda jauh dari harapan.
Partai Buruh dan Koalisi Serikat Pekerja menolak data Kemenperin RI yang patut diduga ‘Asal Bapak Senang’ dan politis.
Bahkan dalam bulan Juli 2025 ini, sudah ada PHK di PT MKI Tegal sebanyak 600 orang dan rencana PHK 200 orang di PT Kirio Bekasi, dan PT Sinarup Jaya Utama di Kabupaten Bogor yang melakukan 87 orang, yang kesemuanya hak-hak buruhnya belum dibayarkan.(*)