Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, telah mengamanatkan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membentuk suatu Badan yang tugasnya mengkoordinasikan langkah Preventif dan Represif dalam melaksanakan Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan, dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN).
Pakar Hukum Anti Narkotika, Komjen Pol (Purn) Dr Anang Iskandar, S.H., M.H., menyebut, urgensi dibentuk Badan untuk mengkoordinasikan langkah Preventif dan Represif dalam melaksanakan Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan, dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) itu adalah;
Pertama, Fungsi Pencegahan. Fungsi Pencegahan dilaksanakan oleh seluruh Kementerian, seluruh Lembaga Pemerintah Non Kementerian dan melibatkan seluruh komponen masyarakat.
Kedua, Fungsi Rehabilitasi, melibatkan Kementerian Kesehatan untuk melaksanakan pencegahan primer dan pencegahan sekunder (rehabilitasi ). Fungsi rehabilitasi melibatkan Kemenkes dan Kemensos.
Ketiga, Fungsi Pemberantasan, berkaitan dengan Polri, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung (MA), Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial dan Kementerian Kumham, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan Republik Indonesia (Kemenimipias), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
“Karena luasnya stakeholder penanggulangan narkotika maka Pemerintah dan DPR pada tahun 2009 membentuk Badan Narkotika Nasional (BNN) yang bertanggung jawab kepada Presiden,” ujar Anang Iskandar, dalam unggahan Instagramnya.
“Tetapi diberi tugas sebagai Penyidik sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementerian namun sonder (menyelidiki) tugas mengkoordinasikan langkah Preventif dan Represif dalam Program P4GN. Akibatnya pelaksanaan Program Pemerintah dalam P4GN menjadi tidak terintegrasi,” jelas Anang Iskandar.
Komjen Pol (Purn) Dr Anang Iskandar, SH.,MH., yang merupakan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri 2015/2016, menegaskan, berdasarkan Memorie van Toelichting (MvT) bahwa Pemerintah mengusulkan membentuk Badan yang tugasnya mengkoordinasikan langkah Preventif dan Represif.
“Tetapi dalam pembahasan di DPR diubah menjadi Badan Narkotika Nasional (BNN) yang justru diberi tugas untuk menyidik, dan tidak diberikan tugas mengkoordinir langkah Preventif dan Represif,” ujarnya.
Memorie van Toelichting (MvT) adalah catatan penjelasan yang melatarbelakangi penyusunan suatu peraturan perundang-undangan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Memorie van Toelichting (MvT) berisi penjelasan mengenai alasan, tujuan, dan konsep di balik setiap pasal dalam peraturan tersebut, dan berfungsi sebagai sumber interpretasi hukum.
Komjen Pol (Purn) Dr Anang Iskandar, SH.,MH., yang merupakan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) 2012/2015 menyatakan, akibat pembahasan di DPR yang mana Badan yang dimaksud oleh Memorie van Toelichting (MvT) itu diubah menjadi Badan Narkotika Nasional (BNN) yang diberi tugas untuk menyidik itu, maka terjadi dualisme tugas penyidikan perkara narkotika.
Dualisme kewenangan penegak hukum dalam menanggulangi penyalahgunaan narkotika yakni ada yang direhabilitasi dan ada yang dipenjara.
Dualisme badan negara yang tugasnya sama, dan dualisme kewenangan penegak hukum menjadikan Not Good Governance. Kemudian, Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas mengalami Over Capacity atau kelebihan kapasitas dan residivisme, serta meningkatnya demand narkotika sampai ke desa-desa, serta supply narkotika ke Indonesia.
“Kepala Negara melalui pemegang kekuasaan Eksekutif dan Legislatif, buatlah kebijakan ‘narkotika’ yang benar,” tandasnya.(*)