Jampidum Asep Nana Mulyana.
Jampidum Asep Nana Mulyana.

Perkara Kekerasan Anak di Bireun Aceh, Jampidum Asep Mulyana Setujui Lagi 2 Perkara Restorative Justice

Jaksa Agung Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 2 (dua) permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice atau Keadilan Restoratif pada Kamis 31 Juli 2025.

Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Mulyadi Abd Gani bin Abdul Gani dari Kejaksaan Negeri Bireuen yang disangka melanggar Kesatu Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Peristiwa bermula pada hari Jumat, tanggal 14 Maret 2025, sekitar pukul 17.00 WIB, di sebuah kilang padi yang berlokasi di Desa Seuneubok Nalan, Kecamatan Peulimbang, Kabupaten Bireuen.

Di lokasi tersebut, telah terjadi perdebatan antara Tersangka Mulyadi Abd Gani bin Abdul Gani dengan anak korban bernama Irwandi bin M. Azis, yang merupakan rekan kerja Tersangka di kilang tersebut. Perdebatan tersebut dipicu oleh persoalan pemuatan beras.

Tersangka yang merasa tersinggung oleh ucapan anak korban kemudian mendatangi anak korban dan memukul paha sebelah kanan anak korban dengan gagang sapu sebanyak satu kali, mengakibatkan rasa sakit.

Selanjutnya, ketika anak korban turun dari pondok, dia terpeleset. Pada saat itu, Tersangka kembali melakukan kekerasan dengan mengayunkan sapu ke arah kepala anak korban sebanyak satu kali.

Meskipun korban sempat mencoba menangkis serangan tersebut, gagang sapu tetap mengenai kepala bagian atas, pergelangan tangan kanan, serta ujung jari tengah dan jari manis tangan kanan anak korban.

Akibat tindakan tersebut, anak korban mengalami sejumlah luka fisik. Berdasarkan hasil pemeriksaan medis sebagaimana tercantum dalam Surat Visum et Repertum RSUD dr. Fauziah Kabupaten Bireuen Nomor: 46/2025 tanggal 17 Maret 2025, yang ditandatangani oleh dr. Sarah Annisa Hasanah selaku dokter pemeriksa, ditemukan luka lecet kemerahan pada kepala bagian atas disertai pembengkakan, bengkak pada pergelangan tangan kanan, serta dua luka gores kemerahan pada ujung jari tengah dan jari manis tangan kanan. Luka-luka tersebut dinyatakan disebabkan oleh benda tumpul.

Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Bireuen Munawal Hadi, S.H., M.H, Kasi Pidum Yanuar Firman Junaidi, S.E., S.H., M.H serta Jaksa Fasilitator Lainatussara, S.H., M.H. dan Leni Fuji Lesti, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice, dengan mendamaikan pihak korban dan Tersangka pada 21 Juli 2025.

Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Saksi Korban. Lalu Saksi Korban meminta agar proses hukum yang dijalani oleh Tersangka dihentikan.

Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Bireuen mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh Yudi Triadi, S.H., M.H.

Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada Jampidum Asep Nana Mulyana dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Kamis 31 Juli 2025.

Selain itu, Jampidum Asep Nana Mulyana juga menyetujui perkara lain melalui mekanisme Keadilan Restoratif, terhadap 1 (satu) perkara lain yaitu Tersangka Midun Elpa Saputra bin Aspar dari Kejaksaan Negeri Sintang, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:

●        Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;

●        Tersangka belum pernah dihukum;

●        Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;

●        Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;

●        Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;

●        Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;

●        Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;

●        Pertimbangan sosiologis;

●        Masyarakat merespon positif.

“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas Jampidum Asep Nana Mulyana.(*)

Check Also

Kantor Polres Kabupaten Bekasi di Cikarang.

Parah, Pelapor Sudah Cabut Laporan dan Kedua Belah Pihak Sudah Berdamai, Tapi Kok Polres Bekasi Malah Masih Sengaja Menahan Terlapor di Sel Tahanan

Sungguh malang nasib warga miskin pencari keadilan di Bekasi. Warga yang dilaporkan atas dugaan pencurian …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *