Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) diperingatkan agar tidak terburu nafsu harus menerapkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang masih dalam pembahasan alot, untuk harus diterapkan mulai 1 Januari 2026.
Pasalnya, hingga kini sudah mau memasuki bulan Agustus 2025, berbagai elemen masyarakat masih memberikan masukan-masukan yang sangat urgen pada proses penyusunan KUHP dan KUHAP yang baru tersebut.
Selain itu, sejumlah catatan kritis mengenai pengawasan dan mekanisme masing-masing Aparat Penegak Hukum (APH) mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Hakim, dan Advokat, dalam menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, belum dipastikan termuat dalam KUHAP yang sedang masih berlangsung di Senayan.
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) sebagai bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pembaharuan KUHAP, menimbang-nimbang bahwa penerapan KUHAP yang digembar-gemborkan akan mulai berlaku 1 Januari 2026, masih sangat banyak bolong-bolong.
“Kami pesimis bisa mulai diberlakukan per 1 Januari 2026. Masih terlalu banyak yang perlu dibenahi, dan mesti dimasukkan sebagai bagian dari pengawasan terhadap Penyidik, Jaksa, Hakim, Advokat, mulai dari proses penyelidikan, penuntutan hingga persidangan, mekanismenya belum clear. Hendaknya jangan terburu nafsu karena kadung diumumkan akan mulai berlaku 1 Januari 2026. Bisa makin rusak tatanan dan proses penegakan hukum Indonesia bila terburu-buru,” tutur Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Muhammad Fadhil Alfathan, SH., ketika diwawancara wartawan di Kantor LBH Jakarta, Jl. Pangeran Diponegoro No.74, Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat, pada Senin malam (28/7/2025).
Dengan didampingi Divisi Advokasi LBH Jakarta, Daniel Winarta, S.H, Fadhil Alfathan menegaskan, pada prinsipnya semua elemen sangat mendukung perlunya pembaharuan sistem dan tatanan Hukum Indonesia.
Namun, harus dengan memastikan bahwa pola pikir atau paradigma lama proses hukum di Indonesia mesti juga diperbaharui.
“Misalnya, mulai dari proses penyelidikan di Kepolisian, penetapan Tersangka, Penuntutan hingga ke Pengadilan, itu semua harus dengan paradigma baru. Mesti ada mekanisme dan sistem pengawasan yang ketat dan transparan terhadap kinerja Penyidik, Jaksa, Hakim dan Advokat. Sebab, dalam paradigma lama, faktanya seringkali sesuka-suka hati Penyidik menangkap dan menetapkan seseorang sebagai Tersangka,” tutur Fadhil Alfathan.
Tidak cukup hanya membuat mekanisme pengawasan yang ala kadarnya di KUHAP, menurut Fadhil Alfathan, KUHAP yang baru juga harus secara tegas memuat sanksi bagi Penyidik, Jaksa, Hakim atau Advokat yang melakukan pelanggaran.
“Kami meminta itu dimuat secara tegas dalam pasal atau ayat di KUHAP yang baru. Sudah tidak cukup hanya dengan menyerahkan pengawasan ke Internal atau lembaga bentukan eksternal. Faktanya, selama ini, tidak terjadi mekanisme yang ketat dan sanksi yang tegas,” jelasnya melanjutkan.
“Indonesia harus memastikan itu semua ada di KUHAP. Sebab, KUHAP ini bukan untuk kepentingan jangka pendek. KUHAP ini untuk jangka panjang lho,” tegas Fadhil Alfathan.(*)
Berikut Catatan-Catatan Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pembaharuan KUHAP Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi III DPR RI, Senin, 21 Juli 2025
Koalisi Masyarakat Sipil Mendukung Imunitas Advokat
- Imunitas Advokat/pemberi bantuan hukum adalah bagian dari Peran dan kebutuhan Seluruh Advokat/Pengabdi Bantuan Hukum di seluruh kantor LBH-YLBHI se-Indonesia, juga bagian dari keselarasan dengan UU Advokat dan UU Bantuan Hukum.
- Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP mendukung imunitas advokat. Advokat harus diberi hak yang seluas-luas untuk membela kepentingan kliennya dalam memberikan pendampingan pada setiap proses peradilan pidana
- Advokat jelas tidak boleh dituntut baik secara pidana atau perdata atas tindakan pendampingan yang dilakukan advokat
- Yang menjadi dasar mengapa koalisi masyarakat mengkritisi RUU KUHAP adalah proses pembahasannya yang tidak akuntabel dan partisipatif (partisipasi bermakna), serta substansinya yang belum serius memberikan penguatan kepada advokat dan bantuan hukum;
Penyusunan RKUHAP Bermasalah: Tergesa-gesa, Mengabaikan Prinsip Konstitusi dan Partisipasi Bermakna Sejati
Harus disusun secara cermat, hati-hati dengan membuka ruang partisipasi bermakna yang seluas-luasnya untuk menjawab masalah penegakan hukum di masyarakat, menjamin perlindungan hak asasi manusia dan menciptakan sistem peradilan yang jujur dan adil;
- 23 Januari: YLBHI diundang oleh Badan Keahlian DPR untuk membahas Penyusunan Naskah Akademik. Ketua Komisi III sampaikan Penyusunan RKUHAP dimulai dari Nol.
- 12 Februari: YLBHI bersama masyarakat sipil tiba-tiba diundang RDPU, dan diminta memberikan masukan terhadap Draf RKUHAP yang tidak dapat diakses, karena mendadak undangan tersebut ditunda, dan belum ada kejelasan lanjutan undangan
- 19 Maret: YLBHI dan CSO mengajukan keterbukaan Informasi Publik terkait Draft.
- 20 Maret: DPR baru mengunggah NA dan RUU di laman website DPR RI, namun dalam website tersebut tertulis diunggah 17 Februari
- 8 April: YLBHI bersama koalisi masyarakat sipil diundang INFORMAL oleh Ketua Komisi III tanpa dihadiri anggota Komisi III, tetapi kemudian dianggap sebagai RDPU dan dipublikasikan dalam website DPR RI. Koalisi Ingatkan jaminan akses informasi RUU dan Partisipasi Bermakna yang sejati dan seluas-luasnya;
- 27 Mei: Diundang Pemerintah untuk memberi masukan, tetapi tidak pernah dibuka dan tidak pernah ada partisipasi pembahasan draft. Forum Dosen Pidana Indonesia: Tenaga ahli dan para akademisi tidak benar-benar dilibatkan secara mendalam dalam proses perumusan norma, dan hanya diberikan informasi perkembangan dokumen DIM secara terbatas dan sepihak.
- 8 Juli: Pemerintah baru mengunggah DIM Pemerintah ketika diserahkan secara publik ke DPR RI
- 9-10 Juli: Pembahasan 1676 DIM hanya dalam 2 hari. Pembahasan 290 DIM (17% DIM) dan pembahasan cepat, tidak mendalam karena DPR RI cenderung mengikuti argumen Pemerintah, Langsung masuk ke Sinkronisasi (11 Juli).
- 20 Juli: Undangan via Aplikasi Whatsapp satu hari sebelum 21 Juli 2025
Penguatan Advokat dalam RKUHAP?
RKUHAP mencoba mengadopsi “pre trial discovery rights” (akses advokat terhadap bukti dan berkas perkara, Pasal 141 huruf e dan j), akan tetapi
Jika tidak diberikan bukti dan berkas?
Jika terdapat bukti dan Keterangan Tersangka/Saksi yang didapat secara tidak Sah? Jika terdapat penyiksaan/pelanggaran dalam Proses;
jika ada penolakan Advokat tanpa dasar?
Maka ini dimana Pengujian dan Penegakkan Hukumnya?
Di Pasal 529, 530, & 449 KUHP 1/2023 sudah ada pengaturannya, tetapi bagaimana prosedur implementasinya?
Ini juga merupakan mandat Pasal 15 UNCAT/ UU 5/1998 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penyiksaan
Jaminan pada Pasal 64 RUU KUHAP bahwa berkas perkara dan bukti yang dinyatakan sudah lengkap di tingkat penyidikan juga harus dapat diakses oleh Advokat.
Penting Masuk dalam Pra Peradilan/Pre Trial Judge dan menerapkan “exclusionary rules”
Pra Peradilan/Pre Trial Judge seharusnya :
- Menguji Pencabutan/penolakan Advokat, dimana Hakim bisa memperingatkan akibat tidak adanya advokat, dan apakah ada ancaman/pemaksaan?
- Menguji jika ada bukti dan keterangan yang tidak sah (misal: didapat melalui penyiksaan, didapat melalui Penyadapan yang tidak sesuai ketentuan dll)
- Menguji jika berkas tidak diberikan – maka bukti-bukti yang tidak diberikan tidak bisa digunakan di pengadilan
- Pra Peradilan/Pre Trial Judge harus bisa melakukan “exclusionary rules”
- Termasuk Menguji rencana status Saksi Mahkota dan mekanisme keberatan atas pelaksanaan kesepakatan/hak saksi mahkota
- Exclusionary rules adalah prinsip yang menegaskan bahwa bukti yang diperoleh dengan cara melanggar hukum atau HAM tak dapat digunakan dalam proses peradilan, sedangkan fruit of the poisonous tree memperluas cakupan prinsip tersebut dengan menyatakan bahwa bukti turunan yang diperoleh dari bukti ilegal juga dianggap tak sah.
Belum kuatnya pengaturan Bantuan Hukum/pendampingan Advokat dan Pembelaan
- Hak atas bantuan hukum bagi tersangka, terdakwa, saksi dan korban tidak dijamin secara eksplisit (Pasal 134 huruf c, 135 huruf b, 136 huruf b).
- Tidak adanya kontrol/pengujian hakim dalam Penolakan tersangka/terdakwa atas hak pendampingan hukum advokat. (Pasal 146 ayat 5); Berpotensi menjadi legitimasi praktik jamak di lapangan adanya tekanan/pengaruh penyidik agar tersangka terdakwa tidak menggunakan pendampingan advokat tertentu;
- Masalah penghapusan Hak Bantuan Hukum dan Penunjukan Advokat oleh Penyidik: Penghapusan hak atas bantuan hukum dari daftar hak-hak tersangka/terdakwa (Pasal 134 huruf c) dan ketentuan yang menyatakan penyidik dapat menunjuk pengacara jika tersangka tidak mampu atau tidak punya kuasa hukum (Pasal 145 ayat (1)), berpotensi menciptakan praktik “pengacara formalitas” yang tidak membela kepentingan tersangka secara efektif. Hal ini membatasi hak untuk memilih kuasa hukum sendiri dan hanya memberikan bantuan hukum bagi tersangka yang tidak mampu atau diancam pidana kurang dari 5 tahun, mengabaikan kelompok rentan lainnya.
- Pasal 236 ayat (2) dan (3) mengatur penggantian advokat yang berhalangan oleh asosiasi dan tetap melanjutkan persidangan jika penggantinya masih berhalangan menimbulkan hak bantuan hukum dan hak advokat beracara bisa dikebiri;
- Tidak ada kesempatan untuk menyanggah pembuktian secara berimbang dalam persidangan: Pasal 197 ayat (10) dan (11), setelah pemeriksaan Terdakwa hanya PU yang diberikan kesempatan menyanggah pembuktian, Jika terdapat saksi/ahli yang menguntungkan yang tidak tercantum dalam berkas perkara dan/atau yang diminta oleh Terdakwa/ Advokat, selama sidang berlangsung atau sebelum dijatuhkan putusan, Hakim ketua sidang dapat mengabulkan atau menolak untuk mendengar keterangan Saksi atau Ahli tersebut.
REKOMENDASI
- Harus jelas antara probono advokat dan bantuan hukum sebagai tanggung jawab negara.
- Penyebutan Hak atas bantuan hukum harus disebut/diatur secara tegas dalam pasal hak tersangka,terdakwa, saksi dan korban;
- Penolakan dimungkinkan dengan syarat ada kontrol/pengujian oleh hakim Pre Trial Judge;
- Harus diberikan hak untuk memilih advokat atau bantuan hukum sendiri kepada tersangka/terdakwa (terdapat opsi) dan pentingnya pengaturan jaminan hak atas bantuan hukum bagi kelompok rentan (anak,difabel dll);
- Harus jelas yang dimaksud dengan berhalangan dan asosiasi. Pengaturan tidak boleh melanggar hak bantuan hukum terdakwa dan hak advokat menjalankan tugas profesi sebagai kuasa yang diberikan tersangka/terdakwa secara independen.
- Memastikan jaminan kesempatan yang berimbang dalam pembuktian di persidangan.
Kewenangan Tanpa Batas pada Penyelidikan: Ruang Penjebakan
Pasal 5: penyelidik bisa melakukan tindakan lain menurut hukum tanpa penjelasan. Pasal ini memang ada dalam Pasal 5 KUHAP saat ini, namun dalam draft 17 Feb 2025, pasal ini pernah dihapuskan, namun dihidupkan kembali.
Pasal 16 menyatakan pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery), sebagai metode penyelidikan. Padahal penyelidikan adalah tahapan untuk mencari ada tidaknya tindak pidana. Jika dalam penyelidikan tersebut diberikan kewenangan ini, maka penyelidik bisa menciptakan/membuat tindak pidana (fenomena menanam bukti yang dilarang Pasal 278 UU No.1/2023).
Padahal pembelian terselubung (undercover buy dan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery), adalah teknis investigasi khusus, yang saat ini hanya diatur untuk tindak pidana narkotika, dan hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan ketika bukti permulaan dan dugaan tindak pidana telah ada. Selain itu RUU KUHAP 2025 juga tidak membatasi kewenangan ini untuk tindak pidana yang terbatas.
Termasuk kewenangan diskresioner yang rentan penyalahgunaan yakni mendatangi atau mengundang seseorang untuk memperoleh keterangan yang melegitimasi praktik undangan klarifikasi tanpa kejelasan status yang dipanggil dll; dan/ atau kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak jelas ukurannya;
REKOMENDASI:
- Harus ada aturan tentang persyaratan dan prosedur yang jelas terkait kewenangan investigasi khusus bukan sebagai metode penyelidikan, termasuk jaminan check and balances (izin dari pengadilan);
- Teknik investigasi khusus baru dapat dilakukan pada tahap Penyidikan ketika sudah ada kejelasan bahwa tindak pidana memang telah terjadi.
Catatan tentang Penyidikan: Polisi Super Power dan TNI Menjadi Penyidik Tindak Pidana Umum
Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 Ayat (3), Kewenangan penyidik polri sangat superpower ditetapkan sebagai penyidik utama yang mensubordinasi penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang memiliki kewenangan penegakan hukum seperti ppns bea cukai, ppns pajak, ppns komdigi, ppns kehutanan, ppns lingkungan hidup dan penyidik tertentu yakni penyidik khusus di sektor strategis (seperti Narkotika, Lingkungan, Kehutanan, dan Perikanan) wajib berkoordinasi dan mendapat persetujuan POLRI dalam melakukan upaya paksa dan menyerahkan berkas ke penuntut umum (Pasal 87 ayat (3) dan Pasal 92 ayat (3)).
Ketentuan ini menghambat efektivitas penyidikan berbasis keahlian teknis dan bertentangan dengan prinsip koordinasi fungsional, supervisi penuntut umum, serta pengawasan ketat oleh pengadilan.
Pasal 7 ayat (5), Pasal 20 ayat (2), membuka ruang bagi Tentara Nasional Indonesia untuk menjadi penyidik pada tindak pidana umum dan melakukan upaya paksa. Pasal 87 ayat (4) dan 92 ayat (4) yang mengatur tentang penangkapan dan penahanan oleh penyidik, pada versi DPR semula hanya mencantumkan frasa TNI Angkatan Laut. Namun, dalam DIM versi pemerintah frasa ‘Angkatan Laut’ tersebut dihapuskan.
Hal ini berbahaya akan mengembalikan praktik dwifungsi ABRI dan akan mengacaukan sistem peradilan pidana. Akan ada dualisme penyidikan yang berdampak pada tumpang tindih kewenangan, nantinya tidak ada jaminan kepastian hukum dan perlindungan HAM bagi masyarakat.
Pelibatan TNI sebagai penyidik kasus pidana umum potensial menormalisasi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum.
Pelanggaran HAM bisa terjadi dalam urusan penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, penetapan tersangka.
Masalah utama KUHAP lama yang mengakibatkan banyaknya praktek penyalahgunaan wewenang, korupsi peradilan, salah tangkap, rekayasa kasus, penyiksaan dll.
Karena besarnya kewenangan kepolisian namun tanpa pengawasan yang kuat dan efektif. Semestinya KUHAP memperkuat pengawasan dan check and balances kewenangan kepolisian, bukan menambahkan kewenangan tanpa kontrol.
TNI semestinya tak boleh diberikan ruang untuk menjadi penyidik dalam kasus-kasus pidana umum. Kewenangan penyidikan tindak pidana umum semestinya hanya menjadi kewenangan penyidik sipil.
Rekomendasi: hapus penyidik utama, TNI tidak menjadi penyidik.
Catatan Tentang Hak-Hak Tersangka/Terdakwa/Saksi
- Pasal 134 dan 135 RKUHAP belum menjamin secara tegas hak seseorang untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat sebagaimana telah dijamin dalam berbagai instrumen hukum dan HAM internasional: ICCPR/UNCAT/OPCAT maupun dalam berbagai preseden peradilan pidana, seperti: Putusan MA No. 2216/K/Pid.Sus/2021, Putusan MA Nomor 600 K/Pid/2009, dll, yang pada pokoknya menyatakan batal dakwaan dan membebaskan terdakwa yang mengalami penyiksaan.
- Pasal 134 c, Pasal 135 b, dan Pasal 135 b Belum sesuai dengan Jaminan dan Ketentuan U TPKS, UU PKDRT UU Peradilan Anak mendapatkan bantuan hukum maupun pendampingan selain dari advokat (paralegal, pendamping lainnya)
- Agar hak-hak tersangka/terdakwa, saksi, korban, perempuan, disabilitas, orang lanjut usia ketika berhadapan dengan hukum dapat diterapkan secara operasional dan konsisten dengan standar pemenuhan yang sama pada setiap tahapan proses peradilan, maka diperlukan ketentuan pendelegasian dalam KUHAP untuk mengatur lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan hak-hak tersebut di level operasional.
- Hak penyandang disabilitas mental dan intelektual untuk dapat memberikan keterangan harus dijamin, sebab Ilmu medis modern menunjukkan bahwa gangguan jiwa bersifat episodik. Dalam fase remisi atau pemulihan, orang tersebut sangat mampu berpikir, mengambil keputusan, memahami fakta, dan memberi keterangan yang akurat apalagi bila ia mendapat dukungan secara layak.
REKOMENDASI
- Hak atas bantuan hukum dan hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat
- Bukan hanya sekedar daftar hak-hak, tetapi harus dirumuskan SIAPA pemangku kewajiban pemenuhan hak-haknya dan BAGAIMANA hak-hak dapat diakses secara efektif dalam pelaksanaannya;
- Harus ada pengaturan MEKANISME KOMPLAIN untuk melaporkan keberatan pelanggaran hak-hak hingga KONSEKUENSI-KONSEKUENSI yang berdampak pada perkara jika terbukti hak-hak tersebut tidak dipenuhi atau dilanggar. Misal: BAP atau Dakwaan dibatalkan apabila tersangka/terdakwa tidak memperoleh bantuan hukum.
- Ketentuan mengenai tata cara pemenuhan hak-hak perlu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
- Perubahan Pasal 208 RUU KUHAP untuk mengatur bahwa penyandang disabilitas mental dan intelektual dinyatakan tidak cakap untuk memberikan keterangan di bawah sumpah berdasarkan penilaian dari ahli independen/kompeten terlebih dahulu.
Mekanisme Uji terhadap Upaya Paksa Yang Kosong
TERKAIT PENANGKAPAN
Masa penangkapan untuk semua jenis tindak pidana harus mengacu pada KUHAP (1×24 jam) atau maksimal 48 jam (standar HAM internasional). Semakin panjang masa penangkapan maka semakin besar potensi ruang untuk penyalahgunaan dan penyiksaan, terlebih tidak ada pengawasan/kontrol terhadap penangkapan seperti kewajiban untuk menghadirkan kepada hakim secara fisik segera setelah ditangkap.
TERKAIT PENAHANAN
Penahanan pra persidangan dalam Pasal 93 dan 94 dilakukan tanpa mekanisme kontrol yudisial, melanggar prinsip habeas corpus (tidak ada sama sekali Jaminan orang yang ditangkap harus segera dihadapkan ke hakim);
Alasan penahanan dalam Pasal 93 ayat 5 sangat luas dan subjektif (i.e. menghambat pemeriksaan) dan bertentangan dengan hak diam/hak ingkar tersangka (i.e. tidak memberikan ket. sesuai fakta);
Tidak mengadopsi pencegahan penyiksaan. Pasal 85 ayat 6 yang mengatur penetapan tersangka yang dilakukan dengan kekerasan mengakibatkan batalnya penetapan tersangka malah dihapus;
Tidak ada evaluasi terhadap paradigma dan tujuan penahanan untuk proses pemeriksaan (Pasal 92) bukan untuk penghukuman dengan tidak mengenyampingkan asas praduga tidak bersalah. Durasi penahanan selama ini dilakukan dengan waktu yang panjang melanggar hak untuk segera diperiksa hakim.
REKOMENDASI: Hapus pengecualian masa penangkapan yang bisa lebih dari ketentuan KUHAP.
Penguatan Pengawasan Yudikatif (Judicial Scrutiny) dan sebisa mungkin dilakukan Pre Factum
Penerapan pasal 9 ayat (3) ICCPR (UU 12/2005): Orang yang ditangkap atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan.
Penting ada jaminan hak untuk memperjuangkan atau melawan penahanan di depan pengadilan. Hak ini harus diberikan untuk menjamin penahanan tidak dilakukan dengan melanggar hukum.
Catatan Lainnya Tentang Upaya Paksa
- Penyitaan dalam Pasal 112A ayat 2 mengkategorikan keadaan mendesak penyitaan berdasarkan ancaman keamanan nasional yang mengandung pengertian abstrak tanpa ijin ketua PN. Pasal 118 tentang Pengaturan penyimpanan barang sitaan sangat rentan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang;
- Penyadapan dalam Pasal 124 ayat 1 tidak mengatur batasan penyadapan dan standar check and balance untuk penyadapan sebagaimana upaya paksa yang lain. Meski penyadapan akan diatur dalam UU Penyadapan tapi rumusan Pasal 124 ayat 1 menimbulkan potensi penyalahgunaan kewenangan penyidik tanpa kontrol dan indikator yang jelas, terlebih dilakukan tanpa izin ketua PN.
- Pemeriksaan surat dalam Pasal 130 tentang pemeriksaan surat, penyidik diberi kewenangan tanpa kontrol pengadilan terhadap pemeriksaan surat.
- Penggeledahan dan pemblokiran dilakukan tanpa kriteria objektif (berdasarkan penilaian penyidik) sehingga tidak akan ada pengawasan pengadilan yang substansial (Pasal 106 & 132A); Hal ini melegitimasi praktik pemberian persetujuan pengadilan saat ini terhadap penggeledahan dan penyitaan yang hanya stempel formalitas.
- Pasal 132A tentang pemblokiran memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan pemblokiran berdasarkan subjektivitas penyidik jika dalam keadaan mendesak tanpa izin ketua PN.
- Obyek pemblokiran juga belum diatur dan tidak ada kewajiban untuk menjelaskan relevansi objek yang akan diblokir saat mengajukan izin/persetujuan pemblokiran sehingga dapat menjadi tidak terkontrol.
- Belum ada standar pengaturan upaya paksa berupa pengambilan sampel tubuh/informasi biologis (urin, darah, DNA, rambut, dst) termasuk untuk mendukung pembuktian berdasarkan scientific evidence, selama ini banyak praktik penyalahgunaan dan berujung pemerasan (kasus DWP: dipaksa tes urin).
REKOMENDASI
Penguatan Pengawasan Yudikatif (Judicial Scrutiny)
Harus ada pengaturan tentang beban pembuktian jika keabsahan upaya paksa diuji ke pengadilan. Padahal, yang dibebankan untuk membuktikan bahwa upaya paksa telah dilakukan sesuai hukum adalah penegak hukum, bukan pihak yang dirugikan (tersangka/terdakwa): pre factum sebelum pelaksanaan upaya paksa untuk mencegah penyalahgunaan.
Pengaturan syarat dan standar upaya paksa secara lebih ketat/detail
Penyimpanan barang sitaan semestinya tidak dilakukan oleh penyidik/jaksa- penuntut umum yang berkepentingan dalam perkara. Untuk transparansi dan akuntabilitas harus ada pengaturan yang ketat dan memastikan check and balances.
Hilangnya Mekanisme Penting dalam Pra Peradilan
- Pembatasan-Pembatasan
Upaya paksa yang sudah mendapat izin tidak dapat diuji melalui praperadilan dan praperadilan hanya dapat diajukan 1 kali (Penjelasan Pasal 149 ayat (1) huruf a, Pasal 103, 149, 151 ayat (2)). Ketentuan ini menghapus mekanisme penting untuk mencegah kesewenang-wenangan aparat.
Argumen bahwa praperadilan harus dibatasi 1x karena Pasal 154 ayat (1) huruf d mengatur sidang pokok perkara tidak dapat dimulai sebelum praperadilan selesai, cenderung akan membatasi hak/ruang untuk komplain/keberatan.
Untuk mengantisipasi pokok perkara yang tidak kunjung dimulai karena banyaknya pengajuan permohonan praperadilan, pengajuan obyek-obyek praperadilan bisa dimungkinkan untuk diajukan bersamaan dengan pokok perkara kepada hakim yang menangani pokok perkara dengan pemeriksaan/sesi sidang terpisah.
- Terbatasnya obyek pra peradilan
Selama ini tidak ada ruang dan mekanisme yang jelas untuk memeriksa dan memberikan pemulihan terhadap pelanggaran hak-hak tersangka/terdakwa termasuk pengabaian hak atas bantuan hukum/pendampingan hukum serta undue delay.
Terbatasnya ruang komplain dan ketiadaan mekanisme pemulihan terhadap pelanggaran hak-hak ini membuat daftar hak-hak menjadi percuma diatur sebab tidak dapat dinikmati dalam praktiknya secara efektif.
REKOMENDASI
Seluruh upaya paksa terlepas dari sudah adanya izin/persetujuan dari pengadilan tetap harus dapat diuji di Pengadilan (post factum), karena kepentingannya untuk menguji pelaksanaan.
Hapus pembatasan-pembatasan ruang untuk komplain/keberatan.
Penting untuk memperluas obyek pra peradilan termasuk untuk uji dugaan pelanggaran hak-hak yang sudah dijamin KUHAP, undue delay (laporan polisi yang mandek atau ditolak), perkara SLAPP (penyidikan/penuntutan berdasarkan itikad buruk).
Izin Pengadilan (Judicial Scrutiny) yang Setengah Hati
- Dalam kewenangan upaya paksa perkembangan draft RUU KUHAP memperkenalkan adanya “izin ketua pengadilan” untuk mengakomodir rekomendasi masyarakat sipil
- Namun izin pengadilan tersebut justru bisa dikecualikan berdasarkan alasan “Keadaan Mendesak” yang ekstensif dan subjektif, yaitu:
- letak geografis yang susah dijangkau;
- Tertangkap Tangan;
- berupaya melarikan diri;
- berpotensi berupaya merusak dan menghilangkan barang bukti;
- melakukan tindak pidana tertentu; dan/atau
- situasi berdasarkan penilaian Penyidik.
- Bahkan terdapat pengecualian “penilaian penyidik” yang tidak dijelaskan batasannya rentan penyalahgunaan wewenang.
Rekomendasi
- Keadaan mendesak harus menempel spesifik pada masing-masing upaya paksa, harus sangat terbatas pada adanya ancaman keselamatan atau bahaya terhadap diri sendiri atau orang lain
- Tidak ada alasan mendesak untuk tidak memutuskan penahanan tanpa izin hakim (prinsip habeas corpus)
Catatan Lain yang Mendesak
- RKUHAP kemunduran jaminan HAM, justru menghapus Bagian sangat Penting dalam Hal konsideran menimbang di huruf c.. yakni terkait pentingnya RKUHAP selaras dengan konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia;
- RJ dilakukan sejak tahap penyelidikan tanpa jaminan dan akses perlindungan terhadap korban (Pasal 74 ayat 3), padahal RJ secara logis tidak mungkin dilakukan sebelum peristiwa pidananya ada, hal ini membuka ruang penyalahgunaan, bahkan penyelidik bisa bertindak seperti hakim memutuskan perkara, tanpa ada ruang menguji tindakan tersebut kemana.
- Pasal 73A mengadopsi mekanisme baru yaitu mekanisme pengakuan bersalah terdakwa yang dalam proses perundingan dan persidangannya tidak ada melibatkan korban, dan tidak memberikan persyaratan dan ukuran terhadap tuduhan yang berlapis, serta ukuran penjatuhan keringanan hukuman pidana tidak dibuat secara jelas. (DIM No. 405-406).
- Koneksitas harus dihapuskan: anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum wajib diadili di peradilan umum, sedangkan peradilan militer hanya untuk mengadili pelanggaran hukum militer (perlu tindak lanjut revisi UU Pengadilan Militer dan KUHP Militer mengikuti ketentuan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 Pasal 3 ayat (4) huruf a).
REKOMENDASI
- Kembalikan ke draf RUU sebelumnya yang menekankan pentingnya RKUHAP untuk pembaruan hukum acara pidana yang selaras dengan perkembangan hukum internasional dan konvensi yang telah diratifikasi.
- Hapus Restorative Justice dalam tahap Penyelidikan
- Hapus Bab Koneksitas