Tangkapan layar proses pembubaran ibadah umat Kristen di Padang.
Tangkapan layar proses pembubaran ibadah umat Kristen di Padang.

Gawat, Aksi-Aksi Brutal Intoleransi Tidak Ditindak Tegas, Pemerintah Prabowo Subianto Malah Beri Angin Segar

Peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) kembali terjadi. Peribadatan jemaat Kristen Protestan di sebuah rumah doa di Padang Sarai, Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang pada Minggu sore (27/7/2025) dibubarkan oleh sekelompok orang.

Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, menyampaikan, dari video yang beredar pasca peristiwa, sejumlah pria melakukan perusakan dan intimidasi kepada jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugrah Padang yang mengikuti peribadatan di rumah doa tersebut.

Menurut laporan dari media dan mitra lokal SETARA Institute, beberapa properti rusak berat, kursi-kursi hancur, meja dalam keadaan terbalik, pagar rumah dibongkar, dan kaca-kaca jendela pecah. Di dalam rumah doa, tampak sisa-sisa persiapan ibadah yang berserakan diacak-acak oleh penyerang.

Pertama, SETARA Institute mengecam keras terjadinya pelanggaran KBB, intoleransi, dan kekerasan terhadap kelompok minoritas di Padang tersebut. Tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan dan nyata-nyata merupakan tindak kriminal yang melanggar hukum dan konstitusi,” tutur Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, dalam keterangan persnya yang diterima redaksi, Selasa (29/7/2025).

Kedua, SETARA Institute mendesak agar aparatur negara khususnya pemerintah daerah setempat untuk tidak permisif dan mensimplifikasi persoalan intoleransi dan kekerasan tersebut sebagai tindakan yang dipicu kesalahpahaman.

“Sebaliknya, pemerintah daerah setempat, khususnya Padang dan umumnya Sumatera Barat, untuk mengatasi persoalan intoleransi dan pelanggaran KBB tersebut dari akar persoalan yang memicu, terutama konservatisme keagamaan, rendahnya literasi keagamaan, segregasi sosial, regulasi diskriminatif serta normalisasi intoleransi keagamaan, pada aras struktural dan kultural,” lanjut Halili Hasan.

Dalam konteks yang sama, kata dia lagi, aparat penegak hukum juga mesti segera melakukan proses penegakan hukum atas tindakan kriminal yang dilakukan oleh kelompok intoleran.

“Penegakan hukum diharapkan akan memberikan efek jera bagi pelaku dan mewujudkan keadilan bagi korban. Sebaliknya, ketiadaan penegakan hukum merupakan ‘undangan’ bagi berulangnya kejahatan terhadap kelompok minoritas dan kelompok rentan,” ujarnya.

Ketiga, SETARA Institute mendesak Pemerintah Pusat untuk tidak diam saja atas terjadinya intoleransi dan pelanggaran KBB yang kian marak.

Setelah lebih dari enam bulan Pemerintahan Prabowo Subianto, kasus-kasus intoleransi semakin marak. Sejauh ini, Pemerintah Pusat lebih banyak diam.

Presiden, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, dan Kementerian/Lembaga terkait tidak menunjukkan kepedulian dan keberpihakan pada korban.

“Diamnya Pemerintah dapat dibaca oleh kelompok intoleran sebagai ‘angin segar’ yang mendorong mereka untuk mengekspresikan intoleransi dan konservatisme keagamaan, bahkan dengan penggunaan kekerasan,” ujar Halili Hasan.

“Dalam konteks itu, intoleransi akan mengalami penjalaran dan merusak kohesi sosial, modal sosial, serta stabilitas sosial dalam tata kebhinekaan Indonesia,” tegasnya.(*)

Check Also

Pakar Hukum Anti Narkotika, Komjen Pol (Purn) Dr Anang Iskandar.

Anang Iskandar: Wahai, Penegak Hukum Belajarlah Dari Fenomena Amnesti Massal Terhadap 1178 Narapidana

Pakar Hukum Anti Narkotika, Komjen Pol (Purn) Dr Anang Iskandar menyebut, penegak hukum harus mengambil …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *