Ada BRI, BNI, Bank BTPN, Bank OCBC dan Bank Permata, Perbankan Nasional Masih Lemah dalam Komitmen Lingkungan.
Ada BRI, BNI, Bank BTPN, Bank OCBC dan Bank Permata, Perbankan Nasional Masih Lemah dalam Komitmen Lingkungan.

Ada BRI, BNI, Bank BTPN, Bank OCBC dan Bank Permata, Perbankan Nasional Masih Lemah dalam Komitmen Lingkungan

Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF) bersama Forest Watch Indonesia (FWI) meluncurkan laporan Indeks Investasi Hijau II yang mengkaji praktik keuangan berkelanjutan oleh 13 bank nasional dan internasional di Indonesia pada periode 2017/2023.

Hasil laporan ini menunjukkan bahwa sebagian besar bank masih menempatkan aspek lingkungan sebagai prioritas rendah dalam keputusan pembiayaan, meskipun telah ada kemajuan formal melalui penerbitan laporan keberlanjutan dan adopsi sebagian prinsip ESG (Environmental, Social and Governance).

Bank Rakyat Indonesia (BRI) meraih skor tertinggi dengan nilai indeks 82,85 dan satu-satunya bank yang dikategorikan ‘Sangat Bagus’

Diikuti oleh Bank Negara Indonesia (BNI), Bank BTPN, dan Bank OCBC dalam kategori ‘Bagus’. Sebaliknya, Bank Permata mencatat skor terendah, mencerminkan masih rendahnya komitmen terhadap pembiayaan hijau dan pelaporan ESG.

Direktur Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF), Willem Pattinasarany, menyatakan bahwa hasil ini memperlihatkan adanya gap serius antara kepatuhan administratif dengan transformasi substansial.

“Banyak bank telah mematuhi kewajiban administratif seperti pelaporan keberlanjutan, tetapi sangat sedikit yang benar-benar mengubah orientasi bisnisnya untuk mendukung transisi ekonomi hijau. Padahal, sektor jasa keuangan bisa menjadi motor utama perubahan menuju pembangunan berkelanjutan,” tutur Willem Pattinasarany, dalam siaran persnya, Selasa (29/7/2025).

Kajian ini menilai lima prinsip utama dalam praktik perbankan hijau:

  1. Pengelolaan risiko sosial dan lingkungan,
  2. Pengembangan sektor ekonomi berkelanjutan,
  3. Tata kelola dan pelaporan,
  4. Kemitraan dan peningkatan kapasitas, serta
  5. Rencana aksi keuangan berkelanjutan.

Peneliti Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF), Marius Gunawan, yang meneliti kajian ini, menjelaskan bahwa tantangan utama terletak pada transparansi dan keberanian lembaga keuangan untuk menyasar proyek hijau yang sesungguhnya berdampak.

“Masih banyak bank yang tidak mengadopsi prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent), bahkan enggan mempublikasikan Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan mereka. Ini menunjukkan bahwa prinsip keberlanjutan belum benar-benar menjadi inti strategi bisnis,” ujar Marius Gunawan.

Selain itu, Derry Wanta, salah satu penyusun laporan, menyoroti bahwa pendekatan bank masih bersifat reaktif dan tidak proaktif dalam mendorong transisi hijau.

“Beberapa bank memang telah menerbitkan green bonds dan mendanai proyek energi terbarukan. Tapi jumlahnya masih sangat kecil dibanding portofolio kredit sektor berbasis lahan yang berdampak tinggi terhadap lingkungan,” kata Derry Wanta.

Laporan juga menemukan bahwa inisiatif Green Banking cenderung lebih berkembang di bank besar milik negara seperti BRI dan BNI. Namun, bank-bank swasta seperti OCBC dan BTPN juga menunjukkan progres positif.

Praktik terbaik yang diidentifikasi antara lain penggunaan energi terbarukan di kantor pusat, pembentukan divisi ESG khusus, serta integrasi asesmen risiko lingkungan dalam proses kredit.

Meski begitu, sebagian besar bank belum secara konsisten menerapkan pendekatan keberlanjutan pada sektor-sektor berisiko tinggi seperti kehutanan dan perkebunan.

Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF) merekomendasikan sejumlah langkah strategis untuk memperkuat adopsi perbankan hijau, termasuk:

●        Mewajibkan publikasi RAKB secara terbuka

●        Mendorong adopsi FPIC dalam pembiayaan sektor berbasis lahan

●        Memberikan insentif fiskal untuk investasi hijau, dan

●        Memperkuat regulasi agar tidak hanya bersifat administratif.

Dengan diluncurkannya Indeks Investasi Hijau II, Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF) berharap regulator, industri keuangan, dan masyarakat sipil dapat bersama-sama mendorong praktik pembiayaan yang lebih bertanggung jawab dan berpihak pada kelestarian lingkungan serta perlindungan hak masyarakat terdampak.

Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF) adalah koalisi masyarakat sipil yang sejak tahun 2001 berfokus pada transformasi kebijakan ekonomi dan keuangan yang berkeadilan dan berkelanjutan di sektor kehutanan dan industri berbasis lahan di Indonesia.

Forest Watch Indonesia (FWI)mulai diinisiasi pada tahun 1997. Sebuah masa di mana segala macam data, informasi, dan pengelolaan hutan dilakukan secara tertutup.

Situasi ini mengakibatkan tidak banyak masyarakat mengetahui bagaimana kondisi hutan saat itu. Sementara di sisi lain kerusakan hutan semakin parah akibat lemahnya kontrol publik dan lemahnya tata kelola hutan.

Dengan kondisi seperti ini maka pengelolaan data dan informasi kehutanan menjadi penting dilakukan secara terbuka untuk menjamin pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan.(*)

Check Also

Kantor Polres Kabupaten Bekasi di Cikarang.

Parah, Pelapor Sudah Cabut Laporan dan Kedua Belah Pihak Sudah Berdamai, Tapi Kok Polres Bekasi Malah Masih Sengaja Menahan Terlapor di Sel Tahanan

Sungguh malang nasib warga miskin pencari keadilan di Bekasi. Warga yang dilaporkan atas dugaan pencurian …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *