Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto dan Tim Hukumnya.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto dan Tim Hukumnya.

Heboh, Politisasi Hukum Kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto*

Oleh: Lilis Tina Kanan, Mahasiswi Semester 4 Fakultas Hukum Universitas Jayabaya

Duduk Perkara

Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi prinsip supremasi hukum, menempatkan hukum  sebagai panglima tertinggi yang harus ditaati oleh setiap warga negara, tanpa terkecuali termasuk oleh pejabat publik.

Penegakan hukum yang adil dan transparan merupakan pilar utama dalam menjaga kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.

Prinsip praduga tak bersalah adalah prinsip fundamental dalam sistem hukum pidana yang menyebutkan “setiap orang dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan”

Selain itu, terdapat juga asas in dubio pro reo yang berarti jika ada keraguan, maka haruslah diputuskan yang menguntungkan terdakwa, menjadi pedoman penting dalam memastikan keadilan di dalam persidangan.

Proses peradilan yang akuntabel, bebas dari intervensi politik, dan berpegang teguh pada prosedur hukum yang berlaku adalah esensial untuk menjamin bahwa hukum benar-benar berfungsi sebagai alat untuk mencapai keadilan, bukan sebagai instrumen untuk tujuan-tujuan politis atau kepentingan tertentu.

Kasus yang melibatkan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, berawal dari meninggalnya calon legislatif Nazaruddin Kiemas dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang sebelumnya memperoleh suara terbanyak di Dapil Sumatera Selatan I.

Kemudian Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazaruddin Kiemas, mengingat Riezky Aprilia adalah calon legislatif dengan perolehan suara terbanyak kedua, maka sesuai dengan Pasal 242 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). 

Pasal tersebut menyatakan “Dalam hal calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR, anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama”.

Meski demikian, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tetap bersikukuh mendorong Harun Masiku untuk ditetapkan sebagai pengganti Nazaruddin Kiemas.

Upaya PDIP ini bahkan mengajukan fatwa ke Mahkamah Agung dan mengirimkan fatwa tersebut kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Kasus ini kemudian mencuat ke publik setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dan berhasil mengamankan delapan orang.

Dari hasil operasi tangkap tangan (OTT) tersebut, empat orang ditetapkan sebagai tersangka yakni Wahyu Setiawan (Komisioner KPU), Agustiani Tio Fridelina, Saeful Bahri, dan Harun Masiku.

Namun, pada saat operasi tangkap tangan (OTT) Harun Masiku berhasil melarikan diri yang sampai saat ini masih menjadi buronan dan masuk daftar pencarian orang (DPO) yang ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Lebih lanjut, pada saat sidang Wahyu Setiawan yang diselenggarakan secara virtual pada tanggal 28 Mei 2020, Wahyu Setiawan didakwa menerima sejumlah uang suap dari Harun Masiku sebesar Rp. 600.000.000.

Dengan seiring  berjalannya waktu, sidang Wahyu Setiawan  kembali digelar  pada tanggal 20 Juli 2020, dalam sidang tersebut Wahyu Setiawan mengakui di hadapan majelis hakim bahwa dia menerima uang sebesar  15.000 dolar singapura dari Saeful Bahri melalui perantaraan Agustiani, dan menyatakan kesiapannya untuk bertanggung jawab secara moral dan hukum. 

Jaksa KPK kemudian menuntut Wahyu dengan hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 400 .000.000 subsider enam bulan kurungan pada 3 Agustus 2020.

Perkembangan signifikan terjadi pada tanggal 20 Februari 2025, ketika Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan  Hasto Kristiyanto ditahan oleh KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.

Hasto Kristiyanto dijerat dengan dua pasal, yaitu dugaan suap dan merintangi penyidikan (obstruction of justice). Sidang perdananya digelar pada 14 Maret 2025 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

Pada 9 Mei 2025,  Komisi Pemberantasan  Korupsi (KPK) menghadirkan penyidik sebagai saksi fakta, sebuah tindakan yang menuai kritik karena dinilai tidak sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), mengingat penyidik seharusnya tidak menjadi saksi dalam kasus yang ia tangani.

Analisis Hukum Perkara Hasto Kristiyanto

Proses persidangan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto menurut penulis telah menyimpang dari prinsip-prinsip fundamental dalam Hukum Acara Pidana, dengan adanya indikasi kejanggalan dan muatan politis yang mencederai keadilan substantif.

Yang salah satu aspek krusial yang tidak sesuai dengan ketentuan Hukum Acara Pidana adalah dengan adanya kehadiran seorang penyidik bernama Rossa Purbo Bekti sebagai saksi dalam persidangan.

Menurut Pasal 1 angka 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan “Keterangan saksi adalah alat bukti yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya.”

Dalam kasus ini, ketika penyidik KPK yang bernama Rossa Purbo Bekti dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum di  persidangan, Rosa Purbo Bekti mengakui bahwa ia tidak pernah mendengar, melihat ataupun mengalami secara langsung Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto menghalangi atau merintangi penyidikan (Obstruction of justice).

Keterangannya semata-mata didasarkan pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat  dan disusun sendiri, tanpa mengetahui adanya peristiwa tindak pidana tersebut baik yang dia dengar, lihat, maupun di alami sendiri terhadap kasus tersebut.

Oleh karena itu, seorang penyidik yang tidak memenuhi unsur pasal di atas, tidak dapat diajukan sebagai saksi di dalam persidangan yang keteranganya cacat hukum dan patut  dikesampingkan oleh majelis hakim.

Hal demikian telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang  secara eksplisit menyatakan bahwa keterangan saksi adalah salah satu  alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, dan dia alami sendiri, dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Kehadiran penyidik Rossa Purbo Bekti  dalam kasus Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto sebagai saksi telah bertentangan dengan putusan tersebut, karena penyidik tersebut tidak mendengarkan secara langsung, tidak mengalami langsung, melainkan hanya mengetahui semata-mata dari Berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat dan disusun sendiri.

Hal tersebut telah bertentangan dengan prinsip objektivitas, dan dapat menimbulkan konflik kepentingan. Kehadiran penyidik sebagai saksi dalam kasus tersebut bukan hanya inkonstitusional, tetapi juga  mencoreng integritas proses peradilan.

Lebih lanjut, pokok perkara yang menjadi dasar dakwaan terhadap Hasto Kristiyanto adalah dugaan merintangi penyidikan yang diatur dalam pasal 221 Ayat (1) dan Pasal (2)  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)  yang berbunyi Ayat 1:

“Barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa, memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang- undang terus menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian”.

Ayat (2) menyatakan: “Barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.”

Dan Pasal 21 UU Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001) Yang berbunyi: “Setiap orang yang sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tahun) dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit  Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,00(enam ratus juta rupiah).”

Namun, pada pasal di atas menimbulkan sebuah pertanyaan, bagaimana mungkin Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi (PDI) Indonesia didakwa merintangi proses penyidikan padahal pelaku utamanya yakni Harun Masiku belum tertangkap, diperiksa, maupun diadili oleh pengadilan?

Hal ini menjadi sebuah pertanyaan besar untuk kita bersama terhadap proses hukum Hasto Kristiyanto.

Padahal untuk membuktikan unsur-unsur perintangan penyidikan yang dilakukan oleh Hasto Hasto Kristianto harus terlebih dahulu Harun Masiku ditangkap, diperiksa, dan diadili.

Seharusnya, dari keterangan Harun Masiku itulah kebenaran materiil tentang perintangan penyidikan bisa ditegakkan.

Sebab, dalam hukum pidana ada sebuah adagium in criminalibus probationes debent esse luce clariores yang artinya bukti-bukti harus lebih terang dari cahaya.

Keberadaan Harun Masiku sebagai buronan yang belum ditemukan semakin memperkuat kesan bahwa perkara ini dipaksakan untuk tetap berjalan dengan dalih penegakan hukum. Padahal secara hukum materiil, peristiwa pokoknya belum dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan.

Proses Pemeriksaan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto sebagai Terdakwa di persidangan dinilai prematur dan sarat kepentingan.

Tidak adanya bukti yang kuat serta tidak adanya saksi yang dapat secara langsung mengaitkan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan  Hasto Kristiyanto dalam upaya menghalangi penyidikan terhadap Harun Masiku menunjukkan bahwa proses hukum ini terkesan dipaksakan dan tidak didasarkan pada bukti objektif.

Selama jalannya persidangan, tidak ada satu pun bukti atau kesaksian yang dapat membuktikan secara jelas dan meyakinkan bahwa  Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Perjuangan Hasto Kristiyanto benar-benar terlibat dalam upaya menghalangi penyidikan. 

Dengan kondisi tersebut, sangat mungkin bahwa proses hukum ini tidak lagi murni berlandaskan keadilan, melainkan justru diperalat sebagai instrumen politik untuk melemahkan atau mendiskreditkan tokoh-tokoh tertentu.

Oleh karena itu, diharapkan Majelis Hakim dapat mengambil sikap bijak dan mempertimbangkan seluruh fakta hukum yang telah terungkap di persidangan. Putusan hukum harus mencerminkan nilai-nilai keadilan dan bebas dari intervensi politik.

Jika Pengadilan tetap melanjutkan perkara ini tanpa adanya bukti yang kuat, hal ini  akan menjadi preseden buruk bagi Dunia Peradilan, tetapi juga akan menurunkan kepercayaan publik terhadap integritas lembaga peradilan di Indonesia.

Menjaga Integritas Peradilan

Untuk menjaga integritas peradilan dan memastikan supremasi hukum di Indonesia, beberapa langkah fundamental yang perlu diambil dalam kasus Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto.

  1. Penerapan Ketat Prinsip Hukum Acara Pidana

Majelis Hakim harus secara tegas menerapkan Pasal 1 angka 27 KUHAP mengenai keterangan saksi. Keterangan penyidik Rossa Purbo Bekti yang hanya didasarkan pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang ia susun sendiri, tanpa melihat, mendengar, atau mengalami langsung peristiwa pidana, harus dikesampingkan sebagai alat bukti yang cacat hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 secara eksplisit mendukung bahwa penyidik tidak dapat menjadi saksi yang hanya memberikan keterangan BAP buatannya sendiri, karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip objektivitas dan dapat menimbulkan konflik kepentingan. Mengabaikan prinsip ini akan mencoreng integritas proses peradilan.

  1. Penegakan Asas “In Dubio Pro Reo”

Mengingat belum tertangkapnya dan belum diadili-nya Harun Masiku sebagai pelaku utama, Majelis Hakim harus mempertimbangkan asas in dubio pro reo yang artinya jika ada keraguan, maka haruslah diputuskan yang menguntungkan terdakwa.

Penetapan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto sebagai terdakwa dalam kondisi di mana pelaku utama belum tertangkap ataupun belum ada putusan dan tidak adanya bukti kuat yang mengaitkannya langsung dengan upaya menghalangi penyidikan, mengindikasikan bahwa dakwaan mengenai perintangan penyidikan menjadi prematur dan perlu dipertanyakan dasarnya secara hukum materiil.

  1. Perlunya Menemukan Pelaku Utama

Perkara ini tidak dapat berjalan dengan dasar hukum yang kuat selama pelaku utama, Harun Masiku, masih menjadi buronan dan belum diperiksa serta diadili oleh pengadilan.

Proses hukum terhadap Hasto Kristiyanto, yang didakwa melakukan perintangan penyidikan oleh Jaksa Penuntut Umum menjadi cacat, sebab dalam membuat sebuah konstruksi hukum yang kuat, harus terlebih dahulu Harun Masiku diperiksa, ditetapkan tersangka sampai adanya putusan pengadilan.

Prioritas utama inilah yang seharusnya dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk menangkap Harun Masiku untuk mengumpulkan bukti – bukti objektif yang kuat, bukan memaksakan proses hukum yang terkesan didasarkan pada asumsi atau kepentingan tertentu.

  1. Memastikan Independensi Peradilan dari Intervensi Politik

Penting bagi Majelis Hakim untuk bertindak independen dan bebas dari intervensi politik. Indikasi politisasi hukum diduga kuat dengan kurangnya alat bukti sebagaimana telah diatur pada pasal 184 KUHAP harus menjadi perhatian serius majelis hakim.

Putusan pengadilan harus murni didasarkan pada fakta hukum dan keadilan substantif, bukan sebagai instrumen untuk tujuan-tujuan politis atau mendiskreditkan tokoh tertentu.

Jika tidak, hal ini akan menciptakan preseden buruk dan merusak kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

Kesimpulan

Kasus yang menimpa  Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto telah menyoroti tantangan serius terhadap prinsip-prinsip supremasi hukum dan keadilan di Indonesia.

Kehadiran penyidik sebagai saksi yang keterangannya tidak didasarkan pada pada pasal 1 Ayat 27 KUHAP, serta dakwaan merintangi penyidikan tanpa adanya pelaku utama yang telah diadili, menimbulkan keraguan mendalam akan objektivitas dan keabsahan proses hukum ini.

Jika peradilan gagal untuk menerapkan dasar-dasar hukum acara pidana dan melindungi dari potensi politisasi, maka kepercayaan publik terhadap institusi peradilan akan terkikis, dan hukum akan kehilangan fungsinya sebagai alat keadilan sejati.

Dalam arena keadilan, hukum adalah panglima tertinggi, bukan alat sandera kepentingan. Ketika keraguan menyelimuti, keadilan harus berpihak pada kebenaran yang objektif, bukan pada bayangan politik yang memudar.

Integritas peradilan harus tercermin pada aturan-aturan yang berlaku, dan cermin itu harus tetap bening tanpa noda intervensi, demi tegaknya marwah keadilan substantif bagi setiap warga negara.(*)

*Lilis Tina Kanan, Mahasiswi Semester 4 Fakultas Hukum Universitas Jayabaya

Check Also

Kantor Polres Kabupaten Bekasi di Cikarang.

Parah, Pelapor Sudah Cabut Laporan dan Kedua Belah Pihak Sudah Berdamai, Tapi Kok Polres Bekasi Malah Masih Sengaja Menahan Terlapor di Sel Tahanan

Sungguh malang nasib warga miskin pencari keadilan di Bekasi. Warga yang dilaporkan atas dugaan pencurian …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *