Pakar Hukum Anti Narkotika Komjen Pol (Purn) Dr Anang Iskandar, SH.,MH., menyampaikan, proses penghentian penuntutan perkara pemakai narkotika dengan Restorative Justice yang gencar dilakukan oleh Kejaksaan telah melanggar Hukum Pidana.
“Penghentian perkara penyalahgunaan narkotika melanggar hukum pidana,” tutur Anang Iskandar, kepada wartawan, Kamis (17/7/2025).
Selanjutnya, Komjen Pol (Purn) Dr Anang Iskandar, SH.,MH., yang merupakan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri (Kabareskrim Polri) Tahun 2015/2016 itu menegaskan, perlu juga didukung Permohonan Uji Materi ke Mahkamah Agung (MA) karena ketentuan SEMA Nomor 4 Tahun 2010 sudah melampaui kewenangan.
Sebelumnya diberitakan, seorang pemuda asal Bali, bernama Agung, secara resmi mengajukan permohonan uji materiil terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010, yang selama ini menjadi rujukan kuantitatif dalam perkara narkotika.
Pemohon menggugat legalitas angka batas gramasi narkotika, bagi penyalahguna khususnya ganja lima gram, yang dijadikan penentu apakah seseorang berhak direhabilitasi atau justru dipidana penjara.
Permohonan ini diajukan ke Mahkamah Agung secara probono oleh tim advokat dari SITOMGUM Law Firm, dengan argumentasi bahwa SEMA Nomor 4 Tahun 2010 telah melampaui kewenangan hukum, dan bertentangan dengan Pasal 4 huruf d Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang secara eksplisit menjamin rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika.
“Saat seseorang ditangkap dengan 5,94 gram ganja, dia langsung dikualifikasikan seolah sebagai pengedar, tanpa mempertimbangkan hasil asesmen ketergantungan,” ujar Singgih Tomi Gumilang, kuasa hukum pemohon.
“Padahal hasil Tim Asesmen Terpadu Provinsi Bali menyatakan klien kami adalah pecandu aktif, dan Undang-Undang Narkotika secara tegas mengamanatkan rehabilitasi, bukan pemenjaraan,” ujarnya.
SEMA Nomor 4 Tahun 2010 dinilai menetapkan “norma terselubung” tanpa dasar ilmiah dan kewenangan legislasi, yang secara de facto telah membatasi kewenangan hakim dan hak konstitusional tersangka/terdakwa narkotika.
Rudhy Wedhasmara, advokat lainnya, menambahkan, SEMA Nomor 4 Tahun 2010 itu telah menjadi proxy law yang digunakan secara rigid.
“Itu melumpuhkan prinsip Rehabilitative Justice. Ini berbahaya bagi siapa pun yang membutuhkan perawatan, bukan hukuman,” ujarnya.
Komjen Pol (Purn) Dr Anang Iskandar, SH.,MH., yang juga Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) 2012/2015, mendukung dan bersyukur ada pengacara yang jeli dan peduli terhadap masalah Narkotika.
Dijelaskan Anang Iskandar, SEMA Nomor 4 tahun 2010 termasuk SEMA Nomor 3 tahun 2015 dibuat berdasarkan paradigma hukum pidana bukan dibuat berdasarkan paradigma hukum narkotika yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Anang menambahkan, SEMA Nomor 4 tahun 2010 mempersempit rumusan pidana penyalahguna narkotika bagi diri sendiri yang diatur pasal 127 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
“Sehingga SEMA Nomor 4 menyebabkan penyalahguna dalam proses penegakan hukum diperlakukan dan didakwa sebagai pengedar,” ujarnya.
Anang menilai penggunaan pendekatan gramasi adalah paradigma represif. “Hukum narkotika itu menggunakan pendekatan kesehatan dan pidana khusus dengan semangat membangun kesehatan publik. Rehabilitasi adalah bentuk pidana juga, tetapi berbasis penyelamatan. Tidak semua dikurung,” tegasnya.
Permohonan ini diharapkan dapat menjadi momentum korektif terhadap pendekatan hukum yang tidak lagi sejalan dengan prinsip hak asasi manusia dan perlindungan terhadap korban ketergantungan narkotika.
Menurut Anang dalam unggahan di Instagram pribadinya @anangiskandar, bahwa kebijakan negara mengkriminalkan penyalahguna narkotika.
Tujuannya bukan memenjarakan melainkan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu.
“Tapi faktanya penyalahguna diadili secara pidana, dan dijatuhi hukuman pidana, yakni penjara dan denda,” ujarnya.
Demikianlah jika kebijakan kriminalisasi pelaku penyalahgunaan narkotika diformalkan dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
“Undang-Undang tersebut ditafsirkan hakim sebagai Undang-Undang Pidana di mana hakim menjatuhkan hukuman pidana bagi penyalahguna narkotika,” katanya.
Hakim harus tahu bahwa Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika itu bukan Undang-Undang Pidana, bukan pula Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Narkotika.
Tetapi Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika itu menegaskan, narkotika dinyatakan sebagai obat, penggunaan dan distribusinya menggunakan pendekatan kesehatan, larangan penyalahgunaan dan peredaran gelapnya secara pidana dan hukuman bagi pelakunya berupa hukuman alternatif/pengganti pidana serta mengatur kerjasama internasional.
Secara de jure penyalahguna narkotika wajib dijatuhi hukuman rehabilitasi sesuai Pasal 103 junto Pasal 127 ayat 2 junto Pasal 4d. Tapi de facto penyalahguna dijatuhi hukuman pidana.
“Ini adalah pelanggaran hukum yang dilakukan hakim, karena Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika itu mewajibkan hakim untuk memperhatikan Pasal 127 ayat 2, sebelum memutus perkara penyalahgunaan narkotika dengan hukuman rehabilitasi, menggunakan kewenangan Pasal 103 sesuai tujuan dibuatnya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika itu tapi kewajiban tersebut tidak dilaksanakan,” tutur Anang Iskandar.
Akibat terlalu lama, yakni sejak adanya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, penyalahguna sebagai penderita sakit adiksi, dijatuhi hukuman penjara, maka sekarang ini masyarakat dan penegak hukum narkotika menganggap Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika itu sebagai Undang-Undang Pidana.
“Salah kaprah dan mismanajemen penanggulangan narkotika tersebut mengakibatkan terjadinya over kapasitas, terjadi residivisme penyalahgunaan narkotika dan meningkatnya demand and supply bisnis narkotika di Indonesia,” tandas Anang Iskandar.(*)