Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan bahwa akan melakukan revitalisasi 78.000 hektar tambak di kawasan Pantai Utara Jawa.
Sebelum dilakukannya revitalisasi, KKP menyatakan bahwa 78.000 hektar tersebut sebelumnya dimanfaatkan untuk tambak udang, akan tetapi tidak produktif.
Dalam pernyataannya, KKP menyebutkan bahwa program revitalisasi tersebut akan dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2025 yang diawali dari Provinsi Jawa Barat.
Tahap pertama pengembangan tersebut akan menyasar seluas 20.413,25 hektar tambak yang berada di lahan milik pemerintah yang berlokasi di pesisir Kabupaten Bekasi, pesisir Karawang, pesisir Subang, dan pesisir Indramayu.
Merespon hal tersebut, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menyebutkan bahwa rencana revitalisasi tambak yang diwacanakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan harus menjadi perhatian serius pemerintah dalam konteks keberlanjutan ekosistem mangrove yang ada wilayah pesisir di sepanjang Pantai Utara Jawa Barat.
“Agenda revitalisasi ini berpotensi besar akan mendegradasi ekosistem mangrove dan mangrove asosiasi yang telah ada di wilayah pesisir Pantai Utara Jawa Barat. Potensi ini akan semakin besar jika tidak tidak didahului oleh penelitian ilmiah dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), serta yang juga sangat penting adalah persetujuan dari masyarakat lokal atas penggunaan ruang tersebut,” jelas Susan Herawati, dalam siaran persnya yang diterima redaksi, Sabtu (5/7/2025).
KIARA mencatat bahwa revitalisasi tambak di Pantura Jawa Barat tersebut telah semakin serius, berdasarkan informasi yang diterima KIARA bahwa telah dilakukan penandatanganan nota kesepakatan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diwakili langsung oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Gubernur Provinsi Jawa Barat.
Kemudian juga terdapat nota kesepakatan antara Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya KKP yang dilakukan langsung Dirjennya dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu tentang Sinergi Perencanaan, Pembangunan, dan Pengelolaan Perikanan Budidaya di empat kabupaten tersebut.
Kedua penandatanganan nota kesepakatan tersebut dilakukan pada tanggal 25 Juni 2025 di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Selanjutnya, KIARA mencatat bahwa berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2022/2042, luas pemanfaatan ruang budidaya yang diberikan di Provinsi Jawa Barat, yaitu:
Lokasi (Kabupaten/Kota) Pemanfaatan Luas (Ha)
Kab. Bekasi Budidaya 616,52
Kab. Subang Budidaya 416,16
Kab. Subang Budidaya 117,85
Kab. Subang Budidaya 24,25
Kab. Cirebon Budidaya 375,10
Kab. Cirebon Budidaya Kerang 383,25
Kab. Cirebon Budidaya Kerang 205,76
Kota Cirebon * 198,58
Kota Cirebon * 263,71
Kab. Sukabumi Budidaya 146,83
Kab. Garut Rumput Laut 607,52
Pangandaran KJA Offshore 5,03
Sumber: Perda RTRW Provinsi Jawa Barat Tahun 2022-2042
Berdasarkan data RTRW Provinsi Jawa Barat yang telah diintegrasikan dengan Perda RZWP3K tersebut, alokasi ruang untuk budidaya yang dikorelasikan dengan empat lokasi yang telah ditetapkan Kementerian Kelautan Perikanan untuk revitalisasi tambak yaitu Kabupaten Bekasi hanya seluas 616,52 Ha, kemudian Kabupaten Subang hanya seluas 558,26 Ha.
Sedangkan dalam Perda RTRW Jawa Barat tersebut, di Kabupaten Karawang dan Indramayu tidak ada mengalokasikan ruang pesisir dan lautnya untuk budidaya apapun.
Jika jumlah tersebut diakumulasikan, maka total luasannya adalah 1.174,78 Ha, dan jumlah tersebut sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan total luas tambak yang akan direvitalisasi KKP yaitu sebesar 78.000 hektar.
Sehingga revitalisasi tambak tersebut tidak mengacu dan tidak berlandaskan Perda RTRW Provinsi Jawa Barat.
Akan tetapi, KIARA melihat bahwa revitalisasi tambak tersebut merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025.
Dalam Lampiran I Perpres Nomor 12 tahun 2025 tersebut, disebutkan bahwa revitalisasi akuakultur berkelanjutan di Pantura berlokasi di Jawa Barat dengan pelaksana Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan salah satu dari 77 daftar indikasi Proyek Strategis Nasional 2025-2029, di mana revitalisasi tambak ini merupakan PSN baru yang ditujukan untuk swasembada pangan.
“Akan tetapi, pengalaman yang telah dilalui oleh berbagai masyarakat di Indonesia yang wilayahnya dijadikan sebagai PSN, perampasan dan pengabaian hak-hak masyarakat atas ruang hidup dan keberlanjutan hidup secara nyata terjadi bahkan difasilitasi oleh negara melalui berbagai instrumen hukum maupun aparat pertahanan dan keamanannya. Berbagai kejadian-kejadian tersebut dapat dilihat di PSN Mandalika, PSN PIK 2, hingga PSN Rempang Eco City,” jelas Susan.
Agenda revitalisasi tambak seluas 78.000 hektar ini berpotensi akan mendegradasi mangrove yang telah hidup di pesisir Pantai Utara Jawa Barat.
Berdasarkan data Peta Mangrove Nasional, luas mangrove di Provinsi Jawa Barat di tahun 2021 adalah 9.941 Ha, sedangkan di tahun 2024 sebesar 12.429 Ha dan luas potensi habitat mangrove adalah sebesar 39.039 Ha.
Lokasi tambak-tambak yang akan direvitalisasi berada di wilayah pesisir, baik itu pesisir di Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu.
“Ada satu pertanyaan penting, apakah benar ini revitalisasi atau ekstensifikasi atau membuka lahan baru di area mangrove? Sehingga hal ini menjadi catatan serius bagi pemerintah,” ujarnya.
Salah satu prinsip penting dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan adalah prinsip pencegahan dini atau disebut prinsip kehati-hatian (precautionary principle), sebagai bagian dari prioritas dalam strategi pembangunan nasional untuk mencegah agar tidak terjadi degradasi atau kerusakan sumber daya alam dan/atau pencemaran lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan nasional.
Hal ini juga telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di mana dalam Pasal 3 disebutkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berasaskan keberlanjutan, di mana asas keberlanjutan diterapkan agar:
1) Pemanfaatan sumber daya tidak melebihi kemampuan regenerasi sumber daya hayati atau laju inovasi substitusi sumber daya non hayati pesisir;
2) Pemanfaatan sumber daya pesisir saat ini tidak boleh mengorbankan (kualitas dan kuantitas) kebutuhan generasi yang akan datang atas sumber daya pesisir, di mana ini disebut juga sebagai prinsip keadilan antargenerasi; dan
3) Pemanfaatan sumber daya yang belum diketahui dampaknya harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang memadai, atau disebut juga sebagai prinsip kehati-hatian (precautionary principle).
“Sebenarnya, salah satu tugas penting KKP bukan cuma sekedar soal produksi tapi tentang bagaimana Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah keinginan masyarakat kepada Pemerintah melakukan perbaikan lingkungan pesisir dan perairan di sekitarnya, terutama wilayah-wilayah yang mengalami kerusakan berat seperti di Kecamatan Pakisjaya, Karawang, dan Muaragembong,” tutur Susan Herawati.
Hal penting lainnya adalah pengakuan tambak-tambak yang telah dikelola secara tradisional dan mandiri oleh warga.
Salah satu temuannya adalah warga harus membayar sewa kepada Perhutani untuk area tambak mereka. Bahkan terdapat dokumen sah sebagai bukti hak pengelolaan area tersebut.
Selain kekhawatiran atas potensi kerusakan lingkungan, ada kekhawatiran dari warga jika PSN Revitalisasi Akuakultur Berkelanjutan ini akan menghancurkan ruang-ruang yang selama ini telah mereka kelola.
“Kepastian hukum perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat atas ruang hidupnya di pesisir sangat mendesak dan penting untuk dilakukan oleh KKP yang juga merupakan mandat UU 27/2007 dan Putusan MK Nomor 3 Tahun 2010,” pungkas Susan.(*)